font

http://khoirulfaiq.blogspot.com

Laman

Rabu, 25 Januari 2012

Prinsip-Prinsip Ekonomi



A. Pendahuluan 
    Meskipun ada kesamaan timbulnya kegiatan ekonomi, yakni disebabkan oleh adanya kebutuhan dan keinginan manusia. Namun karena cara manusia dalam memenuhi alat pemuas kebutuhan dan cara mendistribusikan alat kebutuhan tersebut didasari filosofi yang berbeda, maka timbullah berbagai bentuk sistem dan praktik ekonomi dari banyak negara di dunia. Perbedaan ini tidak terlepas dari pengaruh filsafat, agama, ideologi, dan kepentingan politik yang mendasari suatu negara penganut sistem tersebut.

    Ilmu ekonomi adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku manusia sebagai hubungan antara tujuan dan sarana langka yang memiliki kegunaan-kegunaan alternatif. Ilmu ekonomi adalah studi yang mempelajari cara-cara manusia mencapai kesejahteraan dan mendistribusikannya. Kesejahteraan yang dimaksud adalah segala sesuatu yang memiliki nilai dan harga, mencakup barang-barang dan jasa yang diproduksi dan dijual oleh para pebisnis.

    Pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kemudian barang-barang dan jasa itu (kekayaan) itu dibagi-bagikan. Cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menjawab pertanyaan ini dengan menentukan sistem ekonomi yang diterapkan. Setidaknya dalam praktik ada lima sistem ekonomi yang dikenal masyarakat dunia, yakni: Kapitalisme, Sosialisme, Fasisme, Komunisme dan terakhir adalah Ekonomi Islam.

B. Kapitalisme

Selasa, 24 Januari 2012

Islam Dan Perbankan Syariah

Oleh: Khoirul Faiq


Pengantar

Perbankan adalah suatu lembaga yang melaksanakan tiga fungsi utama yaitu menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Di dalam sejarah perekonomian kaum muslimin. Fungsi-fungsi bank telah dikenal sejak jaman Rasulullah SAW, fungsi-fungsi tersebut adalah menerima titipan harta, meminjamkan uang untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang.

Rasulullah SAW yang dikenal julukan al Amin, dipercaya oleh masyarakat Mekah menerima simpanan harta, sehingga pada saat terakhir sebelum Rasul hijrah ke Madinah, beliau meminta Sayyidina Ali ra untuk mengembalikan semua titipan itu kepada yang memilikinya1. dalam konsep ini, yang dititipi tidak dapat memanfaatkan harta titipan tersebut.

Seorang sahabat Rasulullah, Zubair bin al Awwam, memilih tidak menerima titipan harta. Beliau lebih suka menerimanya dalam bentuk pinjaman. Tindakan Zubair ini menimbulkan implikasi yang berbeda: pertama, dengan mengambil uang itu sebagai pinjaman, beliau mempunyai hak untuk memanfaatkannya; kedua, karena bentuknya pinjaman, maka ia berkewajiban mengembalikannya utuh2.

Sahabat lain, Ibnu Abbas tercatat melakukan pengiriman uang ke Kufah. Juga tercatat Abdullah bin Zubair di Mekah juga melakukan pengiriman uang ke adiknya Misab bin Zubair yang tinggal di Irak.

Penggunaan cek juga telah dikenal luas sejalan dengan meningkatnya perdagangan antara negeri Syam dengan Yaman, yang paling tidak berlangsung dua kali setahun. Bahkan di jaman Umar bin Khattab ra, beliau menggunakan cek untukmembayar tunjangan kepada mereka yang berhak. Dengan cek ini kemudian mereka mengambil gandum di Baitul Mal yang ketika itu diimpor dari Mesir4.

Pemberian modal untuk modal kerja berbasis bagi hasil, seperti mudharabah, musyarakah, muzara ah, musaqah, telah dikenal sejak awal diantara kaum Muhajirin dan kaum Anshar5.

Jelaslah bahwa ada individu-individu yang telah melaksanakan fungsi perbankan di jaman Rasulullah SAW, meskipun individu tersebut tidak melaksanakan seluruh fungsi perbankan. Ada yang melaksanakan fungsi menerima titipan harta, ada sahabat yang melaksanakan fungsi pinjam-meminjam uang, ada yang melaksakan fungsi pengiriman uang, dan ada pula yang memberikan modal kerja.  

Beberapa istilah perbankan modern bahkan berasal dari khazanah ilmu fiqih, seperti istilah kredit (English: credit; Romawi : credo) yang diambil dari istilah qard. Credit dalam  bahasa inggris berarti meminjamkan uang; credo berarti kepercayaan; sedangkan qard dalam fiqih berarti meminjamkan uang atas dasar kepercayaan. Begitu pula istilah cek (English: check; France : Cheque) yang diambil dari istilah saq (suquq). Suquq dalam bahasa Arab berarti pasar, sedangkan cek adalah alat bayar yang biasa digunakan di pasar.

Perbankan di Jaman Bani Abbasiyah

Istilah bank memang tidak dikenal dalam khazanah keilmuan Islam. Yang dikenal adalah istilah jihbiz. Kata ‘Jihbiz’ berasal dari bahasa Persia yang berarti penagih pajak. Istilah jihbiz mulai dikenal di jaman Mu’awiyah, yang ketika itu fungsinya sebagai penagih pajak dan penghitung pajak atas barang dan tanah.

Di jaman Bani Abbasiyah, jihbiz populer sebagai suatu profesi penukaran uang. Pada jaman itu mulai diperkenalkan uang jenis baru yang disebut fulus yang terbuat dari tembaga. Sebelumnya uang yang digunakan adalah dinar (terbuat dari emas) dan dirham (terbuat dari perak). Dengan munculnya fulus, timbul kecenderungan di kalangan para gubernur untuk mencetak fulusnya masing-masing, sehingga beredar banyak jenis fulus dengan nilai yang berbeda-beda. Keadaan inilah yang mendorong munculnya profesi baru yaitu penukaran uang. Di jaman itu, jihbiz tidak saja melakukan penukaran uang namun  juga menerima titipan dana, meminjamkan uang, dan jasa pengiriman uang. Bila di jaman Rasulullah SAW satu fungsi perbankan dilaksanakan oleh satu individu, maka di jaman Bani Abbasiyah ketiga fungsi utama perbankan dilakukan oleh satu individu jihbiz.

Bolehkah Praktek Perbankan atau Jihbiz ?

Dalam urusan muamalat, hukum asal sesuatu adalah diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berarti ketika suatu  transaksi baru muncul di mana belum dikenal sebelumnya dalam hukum Islam, maka transaksi tersebut dianggap dapat diterima  kecuali terdapat implikasi dari dalil Quran dan Hadist  yang melarangnya secara eksplisit maupun implisit.

Begitu pula Islam menyikapi perbankan atau jihbiz. Pada dasarnya ketiga fungsi utama perbankan adalah boleh dilakukan, kecuali bila dalam melaksanakan fungsinya perbankan melakukan hal-hal yang dilarang syariah. Nah, dalam praktek perbankan konvensional yang dikenal saat ini, fungsi tersebut dilakukan berdasarkan sistem bunga. Bank konvensional tidak serta merta identik dengan riba, namun kebanyakan praktek bank konvensional dapat digolongkan sebagai transaksi ribawi.

Dari definisi riba, sebab (illat) dan tujuan (hikmah) pelarangan riba, maka dapat diidentifikasi praktek perbankan konvensional yang tergolong riba. Riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan secara tunai. Riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga tabungan / deposito / giro. Riba jahiliyah dapat ditemui dalam transaksi kartu kredit yang tidak dibayar penuh tagihannya.

Jelaslah bahwa perbankan konvensional dalam melaksanakan beberapa kegiatannya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk memperkenalkan praktek perbankan berdasarkan prinsip syariah.
Lima transaksi yang lazim dipraktekkan oleh perbankan syariah :

1.    Transaksi yang tidak mengandung riba.
2.    Transaksi yang ditujukan untuk memiliki barang dengan cara jual beli (murabahah).
3.    Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dengan cara sewa (ijarah)
4.    Transaksi yang ditujukan untuk mendapatkan modal kerja dengan cara bagi hasil (mudharabah)
5.    Transaksi deposito, tabungan, giro yang imbalannya adalah bagi hasil (mudharabah) dan transaksi titipan (wadiah).

Jenis-jenis Riba  di Perbankan

Dalam ilmu fiqh dikenal tiga jenis riba yaitu:

a.    Riba Fadl

Riba Fadl disebut juga riba buyu yaitu yang timbul akibat pertukaran barang sejenis yang tidak memenuhi kriteria sama kualitasnya (mistlan bi mistlin), sama kuantitasnya (sawa-an bi sawa-in) dan sama waktu penyerahannya (yadan bi yadin). Pertukaran semisal ini mengandung gharar yaitu ketidakjelasan bagi kedua pihak akan nilai masing-masing barang yang dipertukarkan. Ketidakjelasan ini dapat menimbulkan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain.

Contoh berikut ini akan memperjelas adanya gharar. Ketika kaum Yahudi kalah dalam perang Khaibar, maka harta mereka diambil sebagai rampasan perang (ghanimah), termasuk diantaranya adalah perhiasan yang terbuat dari emas dan perak. Tentu saja perhiasan tersebut bukan gaya hidup kaum muslimin yang sederhana. Oleh karena itu, orang Yahudi berusaha membeli perhiasannya yang terbuat dari emas tersebut, yang akan dibayar dengan uang yang terbuat dari  emas (dinar) dan uang yang terbuat dari perak (dirham). Jadi se-benarnya yang akan terjadi bukanlah jual beli, namun pertukaran barang yang sejenis. Emas ditukar dengan emas, perak ditukar dengan perak .

Perhiasan perak dengan berat yang setara dengan 40 dirham (satu uqiyah) dijual oleh kaum muslimin kepada kaum Yahudi seharga dua atau tiga dirham, padahal nilai perhiasan perak seberat satu uqiyah jauh lebih tinggi dari sekedar 2-3 dirham. Jadi muncul ketidakjelasan (gharar) akan nilai perhiasan perakdan nilai uang perak (dirham).

Mendengar hal tersebut Rasulullah SAW mencegahnya dan bersabda: “Dari Abu Said al-Khdri ra, Rasul SAW bersabda : Transaksi pertukaran emas dengan emas harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; perak dengan perak harus sama takaran dan timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; tepung dengan tepung harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; korma dengan korma harus sama takaran,timbangan dan tangan ke tangan (tunai), kelebihannya adalah riba; garam dengan garam harus sama takaran, timbangan dan tangan ke tangan (tunai) kelebihannya adalah riba.” (Riwayat Muslim)

Di luar keenam jenis barang ini dibolehkan asalkan dilakukan penyerahannya pada saat yang sama. Rasul SAW bersabda: "Jangan kamu bertransaksi satu dinar dengan dua dinar, satu dirham dengan dua dirham; satu sha dengan dua sha karena aku khawatir akan terjadinya riba (al-rama). Seorang bertanya : wahai Rasul: bagaimana jika seseorang menjual seekor kuda dengan beberapa ekor kuda dan seekor unta dengan beberapa ekor unta? Jawab Nabi SAW "Tidak mengapa, asal dilakukan dengan tangan ke tangan (langsung)."(HR Ahmad dan Thabra¬ni).

Dalam perbankan, riba fadl dapat ditemui dalam transaksi jual beli valuta asing yang tidak dilakukan dengan cara tunai (spot).

b. Riba Nasi’ah

Riba Nasi’ah disebut juga riba duyun yaitu riba yang timbul akibat hutang-piutang yang tidak memenuhi kriteria untung muncul bersama resiko (al ghunmu bil ghurmi) dan hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi dhaman). Transaksi semisal ini mengandung pertukaran kewajiban menanggung beban, ha¬nya karena berjalannya waktu. Nasi ah adalah penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba Nasi ah mun¬cul karena adanya perbedaan, perubahan atau tambahan an¬tara barang yang diserahkan hari ini dengan barang yang diserahkan kemudian. Jadi al ghunmu (untung) muncul tanpa adanya resiko (al ghurmi), hasil usaha (al kharaj) muncul tanpa adanya biaya (dhaman); al ghunmu dan al kharaj muncul hanya dengan berjalannya waktu. Padahal dalam bisnis selalu ada ke-mungkinan untung dan rugi. Memastikan sesuatu yang di luar wewenang manusia adalah bentuk kezaliman (QS AI Hasyr, 18 dan QS Luqman, 34). Pertukaran kewajiban menanggung beban (exchange of liability) ini, dapat menimbulkan tindakan zalim terhadap salah satu pihak, kedua pihak, dan pihak-pihak lain. Pendapat Imam Sarakhzi akan memperjelas hal ini.

"Riba adalah tambahan yang disyaratkan dalam transaksi bisnis tanpa adanya padanan (iwad) yang dibenarkan syariah atas penambahan tersebut" (Imam Sarakhsi dalam al-Mabsut, juz. Xll., hal. 109).

Dalam perbankan konvensional, riba nasi’ah dapat ditemui dalam pembayaran bunga kredit dan pembayaran bunga deposito, tabungan, giro.

c. Riba Jahiliyah

Riba Jahiliyah adalah hutang yang dibayar melebihi dari po¬kok pinjaman, karena si peminjam tidak mampu mengembali¬kan dana pinjaman pada waktu yang telah ditetapkan6. Riba Ja¬hiliyah dilarang karena pelanggaran kaedah "Kullu Qardin Jarra Manfa’ah Fahuwa Riba" (setiap pinjaman yang mengambil manfaat adalah riba). Dari segi penundaan waktu penyerahan¬nya, riba jahiliyah tergolong Riba Nasi ah; dari segi kesamaan objek yang dipertukarkan, tergolong Riba Fadl. Tafsir Qurtuby menjelaskan:

"Pada Zaman Jahiliyah para kreditur, apabila hutang sudah jatuh tempo, akan berkata kepada para debitur : "Lunaskan hu¬tang anda sekarang, atau anda tunda pembayaran itu dengan tambahan” "Maka pihak debitur harus menambah jumlah kewa¬jiban pembayaran hutangnya dan kreditur menunggu waktu pembayaran kewajiban tersebut sesuai dengan ketentuan baru. " (Tafsir Qurtubi, 2/1157).

Dalam perbankan konvensional, riba jahiliyah dapat ditemui dalam pengenaan bunga pada transaksi kartu kredit.

Sesuai Syariahkah Murabahah Perbankan Syariah?

Murabahah yang dilakukan oleh perbankan syariah me¬mang tidak sama persis dengan definisi murabahah yang dike¬nal dalam kitab-kitab fiqih. Murabahah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak yaitu penjual dan pembeli. Metode pembayarannya dapat dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan (bi tsaman ajil / muajjal).

Sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad murabahah yang melibatkan tiga pihak. Murabahah pertama dilakukan secara tunai antara bank (sebagai pembeli) dengan penjual barang. Murabahah kedua dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai penjual) dengan nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi murabahah ini. Rukun murabahah pertama terpenuhi sempurna (ada penjual - ada pembeli, ada barang yang diperjual-belikan, ada ijab-kabul) demikian pula rukun murabahah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akad murabahah ini sah.

Sesuai Syariahkah Ijarah Perbankan Syariah?

Ijarah yang dilakukan oleh perbankan syariah memang tidak sama persis dengan definisi ijarah yang dikenal dalam kitab-kitab fiqiah. Ijarah yang lazimnya dijelaskan dalam kitab fiqih hanya melibatkan dua pihak yaitu penyewa dan yang menyewakan. Metode pembayarannya dapat dilakukan tunai (naqdan) atau cicilan (bi tsaman ajil / muajjal).

Sedangkan dalam perbankan syariah sebenarnya terdapat dua akad ijarah yang melibatkan tiga pihak. Ijarah pertama di¬lakukan secara tunai antara bank (sebagai penyewa) dengan yang menyewakan jasa. Ijarah kedua dilakukan secara cicilan antara bank (sebagai yang menyewakan) dengan nasabah bank. Lazimnya bisnis, tentu bank mengambil keuntungan dari transaksi ijarah ini. Rukun ijarah pertama terpenuhi sempurna (ada penyewa - ada yang menyewakan, ada jasa yang disewa¬kan, ada ijab-kabul) demikian pula rukun ijarah kedua. Dengan demikian dapat dikatakan kedua akad ijarah ini sah.

Sesuai Syariahkah Mudharabah Perbankan Syariah?

Mudharabah yang dilakukan oleh perbankan syariah sama persis dengan definisi mudharabah yang dikenal dalam kitab-ki¬tab fiqih. Bank bertindak sebagai pelaksana usaha (mudharib) dan nasabah bank bertindak sebagai pemilik dana. Dana tersebut digunakan bank untuk melakukan murabahah atau ijarah seperti yang telah dijelaskan terdahulu. Dapat pula dana terse¬but digunakan bank untuk melakukan mudharabah kedua. Hasil usaha ini akan dibagi hasilkan berdasarkan nisbah yang dise¬pakati. Rukun mudharabah terpenuhi sempurna (ada mudharib – ada pemilik dana, ada usaha yang akan dibagihasilkan, ada nisbah, ada ijab-kabul). Dengan demikian dapat dikatakan akad mudharabah ini sah.

Kamis, 19 Januari 2012

Sumber-sumber Pendapatan Negara Dalam Ekonomi Islam

Oleh: Khoirul Faiq

A.    Latar Belakang Masalah dan Pokok Bahasan

Basis dan tujuan utama syariat islam adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Apa pun yang menjamin terlindunginya kelima permasalahan ini akan memenuhi kepentingan umum, kemaslahatan yang terletak pada keadilan yang sempurna, dan kebijaksanaan.

Sistem perbankan, uang dan pendapatan negara sangat berperan penting dalam perekonomian umat islam seperti sistem ekonomi lain, pendapatan negara tersebut juga mempunyai peran dalam memajukan suatu negara. Akan tetapi untuk memainkan peran ini perlu adanya reorganisasi sedemikian rupa sehingga secara simultan sejalan dengan etos islam yang mampu  mensejahterakan umat islam secara khusus dan umat yang lain secara keseluruhan.

Dengan demikian distribusi kekayaan yang bisa diambil (dipungut) dari berbagai sumber baik itu dari ghanimah, shadaqah, ataupun fay’i  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari falsafah dan sejarah keislaman yang didasarkan pada komitmen yang pasti terhadap persaudaraan antar manusia dan kesejahteraan antar umat islam. Dan hal itu jelas sekali berbeda dengan falsafah dan sistem yang diterapkan oleh ekonomi lain (misalnya; kapitalis, komunis, dan sosialis).

Sesuai dengan cuplikan latar belakang di atas maka dalam tugas makalah ini penulis akan membahas tentang “Sumber-Sumber Pendapatan Negara dalam Islam”, yang mana meliputi beberapa poin yaitu: Ghanimah, Shadaqah, Infaq, Zakat, ‘Ushr, Fay’i, Jizyah, Kharaj, ‘Ushr (Bea Cukai), Pajak tambang dan harta rikaz, Waqaf, etc.
B.    SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA DALAM ISLAM
  •     Ghanimah

Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.

  •     Shadaqah

Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, pembuktian, dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Menurut Ibn Thaimiyah shadaqah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim tertentu. Menurut Shidiq Al-Jawi shadaqah itu dibagi kedalam tiga kategori, yaitu: shadaqah dalam pengertian pemberian sunnah yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah tanpa imbalan tersebut. Shadaqah dalam pengertian zakat yaitu karena dalam beberapa nash lafadz shadaqah mempunyai arti zakat, dalam hal ini shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak, artinya untuk mengartikannya harus berdasarkan indikasi atau qarinah tertentu yang sudah jelas. Shadaqah dalam pengertian suatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’) pengertian ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Muslim_Nabi bersabda: kullu ma’rufin shadaqatun (setiap kebajikan adalah shadaqah). Berdasarkan hadits ini, maka mencegah dari maksiat, memberi nafkah kepada keluarga, beramal ma’ruf nahi mungkar, menumbuhkan syahwat kepada istri, dan tersenyum adalah bentuk shadaqah.

  •     Infaq

Infaq diambil dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut literature yang lain infaq berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Dalam infaq tidak mengenal yang  namanya nisab, asnaf, dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa mengeluarkan infaq yang dialokasikan untuk kepentingan agamanya. Infaq ini boleh diberikan kepada siapa saja dan berapa saja. Untuk ruang lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana hanya untuk orang muslim saja.

  •     Zakat

Kata zakat berasal dari kata zaka (menumbuhkan), ziadah (menambah), barakah (memberkatkan), thathir (menyucikan), dan an-nama (berkembang). Adapun menurut syara’ zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu dan pada orang-orang yang tertentu pula dengan catatan harta tersebut adalah milik penuh seseorang, mencapai hawl, dan nisabnya,  dalam hal ini zakat dikenakan kepada harta bukan kepada jiwa (jizyah). Di antara objek zakat itu adalah: binatang ternak (unta, sapi, kerbau, dan kambing), emas dan perak, biji-bijian (beras, jagung, dan gandum), buah-buahan (kurma dan anggur saja), harta perniagaan sama seperti syarat-syarat yang telah disebutkan dalam zakat emas dan perak, dll).  Zakat merupakan jaminan pemerintah terhadap rakyatnya yang miskin, agar hartanya (fakir-miskin) yang menempel kepada orang kaya bisa mereka gunakan untuk memenuhi kehidupannya.

  •     ‘Ushr

‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut sepersepuluh yang dalam hal ini memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata dari tanahnya. Tanah yang sudah diwakafkan tetap diperlakukan sebagai tanah ‘ushr jika pemilik sudah menanami tanah tersebut. Yang termasuk kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan perkebunan (buah, madu, dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber alami (hujan, sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan tersebut masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll) maka ‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah panen.

  •     Fay’i

Fay’i berarti mengembalikan sesuatu. Dalam terminologi hukum fay’i menunjukkan seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa berperang seperti harta tidak bergerak (tanah) atau merupakan harta yang diperoleh dari non-muslim secara damai. Dari sudut pandang pajak seluruh tanah yang berada dibawah kekuasaan orang islam dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu tanah ‘ushr dan tanah fay’i. Dalam islam status pajak bagi pemilik tanah (orang islam) disebut zakat, dan non-muslim pajak atas tanahnya disebut kharaj. Beberapa pendapatan yang bisa disebut fay’i adalah jizyah, upeti, bea cukai, denda, kharaj, dan amwal fadila (harta yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki baik karena ditinggalkan pemiliknya ataupun tanpa ahli waris) yang akan kami jelaskan lebih luas lagi.

  •     Jizyah

Asal kata dari jizyah adalah jaza’ yang berarti kompensasi, sedangkan menurut istilah adalah beban yang diambil dari penduduk non-muslim yang berada di negara islam sebagai biaya perlindungan atas kehidupan atau jiwa, kekayaan, dan kebebasan menjalankan agama mereka, dll. Jizyah dikenakan kepada orang kafir karena kekafirannya bukan kepada hartanya. Dalam hal ini para laki-laki yang mampu, orang kaya, dll. yang hidup dan tinggal dalam lingkungan negara islam. Jizyah merupakan bentuk daripada ketundukan seseorang kepada kekuasaan islam, membayar jizyah itu karena orang non-muslim itu bisa menikmati fasilitas umum bersama orang muslim (kepolisian, pengadilan, dll), dan ketidak wajiban ikut perang bagi para non-muslim. Akan tetapi ketidak wajiban ini bukan semata-mata karena mereka sudah membayar jizyah, ini merupakan keadilan islam yang mutlak karena perang dalam islam sangat erat hubungannya dengan aqidah (jihad fii sabilillah).  Untuk tarif atau jumlah jizyah yang akan diambil berbeda-beda, akan tetapi yang pasti adalah dengan menggunakan perinsip keadilan.

  •     Kharaj

Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa atau menyerahkan. Dalam terminologi keuangan islam kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-muslim yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang muslim. Dengan keringanan dari orang islam maka non-muslim tersebut masih bisa menguasai tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dibagi 50%-50% antara non-muslim dan orang islam.

Dalam hal ini kharaj dibagi kedalam dua bagian, yaitu: Kharaj yang dikenakan pada tanah (pajak tetap) artinya pajak tersebut tetap atas tanahnya selama setahun, dan hasil tanah (pajak proporsional) akan dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian. Sama seperti halnya pendapatan lain maka kharaj juga akan didistribusikan kepada kepentingan seluruh kaum muslimin.
  •     ‘Ushr (Bea Cukai)

‘Ushr atau sepersepuluh, dalam hal ini kalangan ulama’ membagi 10% (‘ushr) kedalam dua kategori, yaitu: 10% dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan, 10% diambil dari para pedagang kafir yang memasuki wilayah islam karena membawa barang dagangan (bea cukai). Penarikan bea cukai terhadap para pedagang non-muslim ini dikarenakan sebelumnya orang muslim yang ingin melewati daerah non-muslim dengan membawa barang dagangan juga dikenakan bea cukai (10%), untuk menutupi kerugian tersebut maka negara islam juga memperlakukan hal yang demikian. Dalam pemungutan bea cukai ini dilakukan selama satu tahun sekali sebesar 10% dan diberlakukan terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham, seperti dalam hadits Ziyad Ibn Judair (yang merupakan seorang pemungut bea cukai pada Umar Ibn Khattab) Umar Ibn Khattab menulis surat kepadaku seraya berkata, “janganlah kamu memungut pajak 10% dari mereka kecuali sekali selama satu tahun, bea cukai ini juga hanya tertentu pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham”.

  •     Pajak Tambang Dan Harta Karun

Pajak tambang ini yang hasilnya keras seperti emas, perak, besi, dll. atau harta karun yang ditemukan di wilayah orang islam, maka seperlima (1/5) harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial.

Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang pajak dan harta karun ini. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali ini dianggap sebagai zakat, sedangkan menurut Hanafi adalah sebagai barang rampasan.

  •     Waqaf

Wakaf  secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan sesuai dengan syariat islam. Dalam literatur yang lain wakaf  mempunyai pengertian ‘suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset di mana seseorang dapat memanfaatkan hasilnya untuk tujuan amal sepanjang barang tersebut masih ada’. 

Harta yang sudah diwakafkan keluar dari hak miliknya (wakif), bukan pula harta tersebut adalah milik lembaga pengelola wakaf, akan tetapi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam sejarah umat islam, masa keemasan perkembangan wakaf itu terjadi pada abad ke-8 dan ke-9 H. Pada waktu itu aset wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik, bangunan kantor, gedung pertemuan (ruang sidang), tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dll.

Dengan demikian para guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya sudah terpenuhi, dan siswa pun dapat belajar dengan tenang karena tampa memikirkan masalah uang sekolah.

C.    KESIMPULAN

Dari uraian sumber-sumber pendapatan dan penerimaan negara di atas dapat kami konklusikan bahwa dalam sejarah perekonomian umat islam sumber pendapatan negara sangat bervariatif dan cukup memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap kelangsungan dan kemajuan suatu pemerintahan (negara), sebut saja ghanimah, shadaqah, infaq, zakat, ‘ushr, fay’i, jizyah, kharaj, bea cukai, pajak tambang dan harta karun, amwal fadhila, dan wakaf. 

Meskipun semua sumber pendapatan tersebut sangat berperan terhadap kemajuan dan berkembangnya islam dari awal-awal islam sampai islam yang sekarang, akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan justru sumber pendapatan negara tersebut menuai berbagai perdebatan dan kontroversi antar para ulama’, karena ada sebagian dari sumber pendapatan negara tersebut yang tidak berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, melainkan menggunakan ijma’, ijtihad, dll. yang  artinya tidak semua ulama’ akan melaksanakan dan menerimanya.

D.    DAFTAR PUSTAKA

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2000).
Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrument Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.ke 41, 2008)

Selasa, 17 Januari 2012

Kamus Perbankan Syariah

Oleh: Khoirul Faiq

AKAD
Ikatan atau kesepakatan antara nasabah dengan bank yakni pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan, misalnya akad pembukaan rekening simpanan atau akad pembiayaan.

PRINSIP SYARIAH
Aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan nasabah untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah.

DISTRIBUSI BAGI HASIL
Pembagian keuntungan bank syariah kepada nasabah simpanan berdasarkan nisbah yang disepakati setiap bulannya. Bagi hasil yang diperoleh tergantung jumlah dan jangka waktu simpanan serta pendapatan bank pada periode tersebut. Besarnya bagi hasil dihitung berdasarkan pendapatan bank (revenue) sehingga nasabah pasti memperoleh bagi hasil dan tidak kehilangan pokok simpanannya.

DEWAN PENGAWAS SYARIAH (DPS)
Dewan yang bertugas memantau kepatuhan penerapan prinsip syariah pada operasional perbankan syariah. DPS terdiri dari alim ulama yang ditunjuk Dewan Syariah Nasional (DSN) Majelis Ulama Indonesia, dan atas persetujuan Bank Indonesia.

MARGIN
Besarnya keuntungan yang disepakati antara bank dan nasabah atas transaksi pembiayaan dengan akad jual beli (murabahah). Margin pembiayaan bersifat tetap (fixed) tidak berubah sepanjang jangka waktu pembiayaan.
NISBAH
Porsi bagi hasil antara nasabah dan bank atas transaksi pendanaan dan pembiayaan dengan akad bagi hasil (mudharabah dan musyarakah).

Senin, 16 Januari 2012

Al-Musyarakah, Mudharabah, Dan Wakalah


Oleh: Khoirul Faiq


PENDAHULUAN


    Puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. Dalam pembahasan ini membahas tiga macam kegiatan muamalah, yaitu musyarakah, Mudharabah, dan wakalah.

Al-Musyarakah merupakan suatu bentuk kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam hal bermuamalah. Namun definisi sesungguhnya secara terminologi dari kata Al-Musyarakah memiliki banyak perbedaan dikalangan ulama-ulama fiqh. Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung didalamnya adalah sama; yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam bermuamalah dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan seseui dengan persetujuan yang disepakati.

Mudharabah adalah suatu akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Sedangkan wakalah sering kita artikan mewakilkan tetapi arti atau pengertian sesungguhnya ialah pelimpahan kekuasaan oleh seorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

Minggu, 15 Januari 2012

IJARAH

 
Oleh: Khoirul Faiq

A.    Pengertian 
 
       Lafal ijarah secara etimologi berasal dari kata al-ajru yang arti bahasanya adalah al-iwadh yang dalam bahasa indonesia mempunyai arti ganti atau upah. Dalam pengertian lain ijarah berarti upah, sewa, jasa, atau imbalan. Sedangkan secara terminology ijarah adalah:
 
         - Menurut Ulama’ Hanafiyah

عَقْدٌعَلىَ مَنَا فِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: Transaksi terhadap suatu manfaat dengan fee atau imbalan. 
         - Menurut Ulama’ Syafi’iyah
عَقْدٌ عَلىَ مَنْفَعَةٍ مَقْصُوْدَةٍ مَعْلُوْمَةٍ مُباَحَةٍ قَبِلَةٍ لِلْبَدَلٍ وَاْلأِبَاحَةٍ بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya:  Transaksi terhadap manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.  
         - Menurut Muhammad Al-Syarbini al-khatib
تَمْلِيْكُ مَنْفَعَةٍ بِعِوَ ضٍ بِشُرُوْطٍ
Artinya: Pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat.  
B.    Dasar Hukum Akad Ijarah. 
Hadis riwayat ‘Abd ar-Razzaq dari Abu Hurairah dan Abu Sa’id al-Khudri, Nabi SAW. bersabda:

..........مَنِ اسْتَأْجَرَ أَجِيْرًا فَلْيُعْلِمْهُ أَجْرَهُ.
Artinya: Barang siapa mempekerjakan pekerja, beritahukanlah upahnya. (H.R. Abd ar-Razzaq)
أُعُطُو اْالأَجِيْرَأَجْرَهُ قَبْلَ اَنْ يَجِفُ عُرُقُهُ
Artinyan: Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering. (H.R.  Ibnu Majah)

كُنَّا نُكْرِي اْلأَرْضَ بِمَا عَلَى السَّوَاقِيْ مِنَ الزَّرْعِ وَمَاسَعِدَ بِالْمَاءِ مِنْهَا، فَنَهَانَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ عَنْ ذَلِكَ وَأَمَرَنَا أَنْ نُكْرِيَهَا بِذَهَبٍ أَوْ فِضَّةٍ.
Artinya: “Kami pernah menyewankan tanah dengan (bayaran) hasil pertaniannya; maka, Rasulullah melarang kami melakukan hal tersebut dan memerintahkan agar kami menyewakannya dengan emas atau perak.”(H.R. Ahmad dan Abu Daud)

Praktek Wakaf Di Negara Turki

Oleh: Khoirul Faiq
A. Sejarah Wakaf di Turki

Sejarah wakaf di Turki dapat dikatakan sangat tua. Di Negara ini, wakaf dikenal dengan sebutan vakvive, yang mengandung arti pelayanan publik untuk mempromosikan moralitas, kebajikan, penghargaan, dan cinta dalam masyarakat. Sejak masa kekuasaan Turki Ustmani wakaf telah menghidupi berbagai pelayanan publik dan menopang pembiayaan berbagai bangunan seni dan budaya. Jenis wakaf yang populer pada masa itu adalah berbagai jenis property yang tidak bergerak dan wakaf tunai, yang telah dipraktekkan sejak awal abad ke-15 M. Tradisi ini secara ekstensif terus berlangsung sepanjang abad ke-16 M sedangkan pada masa pemerintahan Ottmaniah di Turki, dana wakaf berhasil meringankan perbelanjaan Negara, terutama untuk menyediakan fasilitas pendidikan, sarana perkotaan dan fasilitas umum lainnya.
 Sebagaimana diketahui, wakaf di Turki pernah mencapai masa-masa keemasan. Bekas-bekas itu masih tampak jelas dari sejumlah momentum hidup yang dapat dijumpai di berbagai tempat di Turki, seperti sekolah-sekolah, masjid-masjid megah, gedung-gedung kesenian dan kebudayaan, rumah sakit, perpustakaan, hotel, dan sebagainya. Bahkan dikatakan bahwa di tuhan 1923, dua pertiga dari total tanah yang potensial untuk ditanami di negeri tersebut merupakan tanah wakaf.

Sabtu, 14 Januari 2012

Konsep Distribusi Kekayaan Dalam Ekonomi Islam


  Oleh: Khoirul Faiq


PENDAHULUAN

Dalam beberapa abad sistem ekonomi konvensional telah melayani manusia dalam memenuhi kebutuhan dan kepuasan mereka. Dalam sistem ekonomi konvensional ada berbagai macam cara bagaimana memuaskan keinginan manusia, selama mereka memiliki kemampuan mengelola sumber daya ekonomi.

Fenomena ini tentu membantah hasil-hasil pembangunan ekonomi yang diklaim selama ini. Dengan demikian tak berlebihan jika disimpulkan bahwa yang terjadi adalah kekacauan ekonomi bukan pembangunan ekonomi, karena jika yang terjadi pembangunan sepatutnya hasil pembangunan adalah sosio-ekonomi yang tertata, dan pemenuhan kebutuhan yang merata. Akhirnya tidak bisa dipungkiri bahwa ternyata dalam beberapa abad ekonomi konvensional mengambil alih sistem ekonomi manusia yang hanya menghasilkan manusia-manusia ekonomi yang meterialistik, individualistik, dan konsumeristik.

Dalam prinsip ekonomi Islam yang diharuskan adalah menjadi tidak hidup bermewah-mewahan, tidak bekerja pada pekerjaan yang dilarang, membayar zakat dan menjauhi riba, merupakan rangkuman dari akidah, akhlak, dan syariah Islam yang menjadi rujukan dalam membangun sistem ekonomi Islam, sebagaimana keterangan dalam ayat Al-Qur’an dibawah ini:

فَاتَ ذَااْلقُرْبىَ حَقَّهُ وَالْمَسَكِيْنَ وَابْنَ السَّبِيْلِ ذَلِكَ خَيْرٌلِّلَّذِيْنَ يُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ وَأُوْلَئِكَ هُمُ اْلمُفْلِحُوْنَ. وَمَا أَتَيْتُمْ مِّنْ رِّباً لِّيَرْبُوَاْفِيْ أَمْوَالِ النَّاسِ فَلاَ يَرْبُوْ عِنْدَاللهِ وَمَاأَتَيْتُمْ مِنْ زَكَاةٍ تُرِيْدُوْنَ وَجْهَ اللهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُضْعِفُوْنَ.(الرُّوْمِ:٣٧-
٣٨)
Artinya:  Maka berikanlah kepada kerabat yang terdekat akan haknya, demikian  kepada fakir miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan. Itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang mencari keridhaan Allah dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan sesuatu riba (tambahan) yang kamu berikan agar dia bertambah pada harta manusia, tidaklah mendapat bunga dari Allah. Dan apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhaan Allah, maka  itulah yang mendapat bunga, mereka yang demikianlah yang memperoleh pahala yang berlipat ganda. (QS. Ar Rum: 37-38)

Konsep Dasar Manajemen Keuangan

Oleh: Khoirul Faiq

Pendahuluan

Dalam tiga dekade terakhir ini, ilmu manajemen keuangan telah berkembang pesat. Perkembangan ini dimulai pada tahun 1951, sebagaimana ditulis dalam bukunya Joel Dean  Capital Budgeting.

Kemudian pada dekade tahun 1970, Markowitz, Sharpe, dan Linter melakukan pembauran dalam penilaian dasar resiko dan hasil berdasarkan Konsep Teori Portofolio.

Pertumbuhan ilmu manejemen keuangan terus berlanjut dengan munculnya inovasi baru dalam pembiayaan seperti Leasing, dan pertumbuhan perusahaan secara eksternal melalui konglomerasi, merger, dan akuisisi.

Secara keseluruhan ilmu manajemen keuangan telah muncul dari suatu studi yang bersifat deskriptif tentang pendekatan pengelolaan operasional perusahaan ke arah konsepsi teoritis perusahaan dalam lingkungan yang dinamis dan dalam kondisi yang penuh ketidakpastian.

Market Distortion Dalam Ekonomi Islam

Resume by: Khoirul Faiq
 

Dalam konsep islam yang menentukan harga adalah kekuatan pasar yaitu kekuatan penawaran dan kekuatan permintaan. Pertemuan antara permintaan dan penawaran itu harus terjadi suka sama suka, dalam artian antara konsumen dan produsen tidak ada yang merasa tertipu dan dirugikan, baik itu pada kualitas,  kuantitas, dan satuan harga yang ditetapkan pada barang yang diperjualbelikan tersebut.

Dalam suatu sistem (ekonomi) yang diharapkan adalah bagaimana sistem itu akan bisa memecahkan masalah perekonomian di masyarakat dengan lancar dan adil (menjadi sistem yang ideal). Akan tetapi, harapan  tersebut tidak semuanya akan berhasil dengan yang diharapkan, ideal tersebut selalu menemukan hambatan ataupun menemukan jalan buntu dalam penerapannya, gangguan tersebut disebut dengan Market Distortion. Dalam distorsi pasar tersebut biasanya ada tiga bentuk, yaitu: