font

http://khoirulfaiq.blogspot.com

Laman

Kamis, 19 Januari 2012

Sumber-sumber Pendapatan Negara Dalam Ekonomi Islam

Oleh: Khoirul Faiq

A.    Latar Belakang Masalah dan Pokok Bahasan

Basis dan tujuan utama syariat islam adalah mendorong kesejahteraan manusia yang terletak pada perlindungan kepada keimanan, kehidupan, akal, dan kekayaan yang dimiliki oleh setiap manusia. Apa pun yang menjamin terlindunginya kelima permasalahan ini akan memenuhi kepentingan umum, kemaslahatan yang terletak pada keadilan yang sempurna, dan kebijaksanaan.

Sistem perbankan, uang dan pendapatan negara sangat berperan penting dalam perekonomian umat islam seperti sistem ekonomi lain, pendapatan negara tersebut juga mempunyai peran dalam memajukan suatu negara. Akan tetapi untuk memainkan peran ini perlu adanya reorganisasi sedemikian rupa sehingga secara simultan sejalan dengan etos islam yang mampu  mensejahterakan umat islam secara khusus dan umat yang lain secara keseluruhan.

Dengan demikian distribusi kekayaan yang bisa diambil (dipungut) dari berbagai sumber baik itu dari ghanimah, shadaqah, ataupun fay’i  adalah bagian yang tidak terpisahkan dari falsafah dan sejarah keislaman yang didasarkan pada komitmen yang pasti terhadap persaudaraan antar manusia dan kesejahteraan antar umat islam. Dan hal itu jelas sekali berbeda dengan falsafah dan sistem yang diterapkan oleh ekonomi lain (misalnya; kapitalis, komunis, dan sosialis).

Sesuai dengan cuplikan latar belakang di atas maka dalam tugas makalah ini penulis akan membahas tentang “Sumber-Sumber Pendapatan Negara dalam Islam”, yang mana meliputi beberapa poin yaitu: Ghanimah, Shadaqah, Infaq, Zakat, ‘Ushr, Fay’i, Jizyah, Kharaj, ‘Ushr (Bea Cukai), Pajak tambang dan harta rikaz, Waqaf, etc.
B.    SUMBER-SUMBER PENDAPATAN NEGARA DALAM ISLAM
  •     Ghanimah

Secara etimologi berasal dari kata ghanama-ghanimatuh yang berarti memperoleh jarahan ‘rampasan perang’. Harta ini menurut Sa’id Hawwa adalah harta yang didapatkan dari hasil peperangan dengan kaum musyrikin. Yang menjadi sasarannya adalah orang kafir yang bukan dalam wilayah yang sama (kafir dzimmi), dan harta yang diambil bisa dari harta yang bergerak atau harta yang tidak bergerak, seperti: perhiasan, senjata, unta, tanah, dll. Untuk porsinya 1/5 untuk Allah dan Rasulnya, kerabat Rasul, anak yatim, dan fakir miskin, dan ibn sabil, dan 4/5 untuk para balatentara yang ikut perang. Kemudian sisanya disimpan di Baitul Mal untuk didistribusikan kemudian.

  •     Shadaqah

Secara etimologi adalah berasal dari kata shadaqa yang berarti benar, pembuktian, dan syahadat (keimanan) yang diwujudkan dengan bentuk pengorbanan materi. Menurut Ibn Thaimiyah shadaqah adalah zakat yang dikenakan atas harta kekayaan muslim tertentu. Menurut Shidiq Al-Jawi shadaqah itu dibagi kedalam tiga kategori, yaitu: shadaqah dalam pengertian pemberian sunnah yaitu pemberian harta kepada orang-orang fakir, orang yang membutuhkan, ataupun pihak-pihak lain yang berhak menerima shadaqah tanpa imbalan tersebut. Shadaqah dalam pengertian zakat yaitu karena dalam beberapa nash lafadz shadaqah mempunyai arti zakat, dalam hal ini shadaqah merupakan kata lain dari zakat. Namun demikian penggunaan kata shadaqah dalam arti zakat ini tidaklah bersifat mutlak, artinya untuk mengartikannya harus berdasarkan indikasi atau qarinah tertentu yang sudah jelas. Shadaqah dalam pengertian suatu yang ma’ruf (benar dalam pandangan syara’) pengertian ini didasarkan pada hadits riwayat Imam Muslim_Nabi bersabda: kullu ma’rufin shadaqatun (setiap kebajikan adalah shadaqah). Berdasarkan hadits ini, maka mencegah dari maksiat, memberi nafkah kepada keluarga, beramal ma’ruf nahi mungkar, menumbuhkan syahwat kepada istri, dan tersenyum adalah bentuk shadaqah.

  •     Infaq

Infaq diambil dari kata anfaqa yang berarti mengeluarkan sesuatu (harta) untuk kepentingan sesuatu. Menurut literature yang lain infaq berarti mengeluarkan sebagian harta atau pendapatan untuk satu kepentingan yang diperintahkan ajaran islam. Dalam infaq tidak mengenal yang  namanya nisab, asnaf, dan subjeknya, artinya orang kafirpun bisa mengeluarkan infaq yang dialokasikan untuk kepentingan agamanya. Infaq ini boleh diberikan kepada siapa saja dan berapa saja. Untuk ruang lingkupnya infaq lebih luas daripada zakat yang mana hanya untuk orang muslim saja.

  •     Zakat

Kata zakat berasal dari kata zaka (menumbuhkan), ziadah (menambah), barakah (memberkatkan), thathir (menyucikan), dan an-nama (berkembang). Adapun menurut syara’ zakat adalah hak yang telah ditentukan besarnya yang wajib dikeluarkan pada harta-harta tertentu dan pada orang-orang yang tertentu pula dengan catatan harta tersebut adalah milik penuh seseorang, mencapai hawl, dan nisabnya,  dalam hal ini zakat dikenakan kepada harta bukan kepada jiwa (jizyah). Di antara objek zakat itu adalah: binatang ternak (unta, sapi, kerbau, dan kambing), emas dan perak, biji-bijian (beras, jagung, dan gandum), buah-buahan (kurma dan anggur saja), harta perniagaan sama seperti syarat-syarat yang telah disebutkan dalam zakat emas dan perak, dll).  Zakat merupakan jaminan pemerintah terhadap rakyatnya yang miskin, agar hartanya (fakir-miskin) yang menempel kepada orang kaya bisa mereka gunakan untuk memenuhi kehidupannya.

  •     ‘Ushr

‘Ushr oleh kalangan ahli fiqh disebut sepersepuluh yang dalam hal ini memiliki dua arti. Pertama, sepersepuluh dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan. Kedua, sepersepuluh diambil dari pedagang-pedagang kafir yang memasuki wilayah islam dengan membawa barang dagangan. ‘Ushr diwajibkan hanya ketika ada hasil yang nyata dari tanahnya. Tanah yang sudah diwakafkan tetap diperlakukan sebagai tanah ‘ushr jika pemilik sudah menanami tanah tersebut. Yang termasuk kedalam harta ‘ushr adalah hasil pertanian dan perkebunan (buah, madu, dll.). Untuk hasil pertanian yang diairi dengan sumber alami (hujan, sumber air, dan arus) maka ‘ushr porsinya 10%, apabila pengairan tersebut masih menggunakan ala-alat produksi lain (alat irrigasi, sumur, dll) maka ‘ushrnya adalah 5%, dan untuk pengambilan ‘ushr ini adalah apabila sudah panen.

  •     Fay’i

Fay’i berarti mengembalikan sesuatu. Dalam terminologi hukum fay’i menunjukkan seluruh harta yang didapat dari musuh tanpa berperang seperti harta tidak bergerak (tanah) atau merupakan harta yang diperoleh dari non-muslim secara damai. Dari sudut pandang pajak seluruh tanah yang berada dibawah kekuasaan orang islam dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu tanah ‘ushr dan tanah fay’i. Dalam islam status pajak bagi pemilik tanah (orang islam) disebut zakat, dan non-muslim pajak atas tanahnya disebut kharaj. Beberapa pendapatan yang bisa disebut fay’i adalah jizyah, upeti, bea cukai, denda, kharaj, dan amwal fadila (harta yang diperoleh karena tidak ada yang memiliki baik karena ditinggalkan pemiliknya ataupun tanpa ahli waris) yang akan kami jelaskan lebih luas lagi.

  •     Jizyah

Asal kata dari jizyah adalah jaza’ yang berarti kompensasi, sedangkan menurut istilah adalah beban yang diambil dari penduduk non-muslim yang berada di negara islam sebagai biaya perlindungan atas kehidupan atau jiwa, kekayaan, dan kebebasan menjalankan agama mereka, dll. Jizyah dikenakan kepada orang kafir karena kekafirannya bukan kepada hartanya. Dalam hal ini para laki-laki yang mampu, orang kaya, dll. yang hidup dan tinggal dalam lingkungan negara islam. Jizyah merupakan bentuk daripada ketundukan seseorang kepada kekuasaan islam, membayar jizyah itu karena orang non-muslim itu bisa menikmati fasilitas umum bersama orang muslim (kepolisian, pengadilan, dll), dan ketidak wajiban ikut perang bagi para non-muslim. Akan tetapi ketidak wajiban ini bukan semata-mata karena mereka sudah membayar jizyah, ini merupakan keadilan islam yang mutlak karena perang dalam islam sangat erat hubungannya dengan aqidah (jihad fii sabilillah).  Untuk tarif atau jumlah jizyah yang akan diambil berbeda-beda, akan tetapi yang pasti adalah dengan menggunakan perinsip keadilan.

  •     Kharaj

Secara harfiah kharaj berarti kontrak, sewa-menyewa atau menyerahkan. Dalam terminologi keuangan islam kharaj adalah pajak atas tanah atau hasil tanah. Yang mana diambil dari tanahnya orang non-muslim yang sudah ditaklukan dan tanah tersebut sudah diambil alih orang muslim. Dengan keringanan dari orang islam maka non-muslim tersebut masih bisa menguasai tanahnya untuk bercocok tanam yang hasilnya akan dibagi 50%-50% antara non-muslim dan orang islam.

Dalam hal ini kharaj dibagi kedalam dua bagian, yaitu: Kharaj yang dikenakan pada tanah (pajak tetap) artinya pajak tersebut tetap atas tanahnya selama setahun, dan hasil tanah (pajak proporsional) akan dikenakan sebagai bagian dari total hasil produksi pertanian. Sama seperti halnya pendapatan lain maka kharaj juga akan didistribusikan kepada kepentingan seluruh kaum muslimin.
  •     ‘Ushr (Bea Cukai)

‘Ushr atau sepersepuluh, dalam hal ini kalangan ulama’ membagi 10% (‘ushr) kedalam dua kategori, yaitu: 10% dari lahan pertanian yang disirami dengan air hujan, 10% diambil dari para pedagang kafir yang memasuki wilayah islam karena membawa barang dagangan (bea cukai). Penarikan bea cukai terhadap para pedagang non-muslim ini dikarenakan sebelumnya orang muslim yang ingin melewati daerah non-muslim dengan membawa barang dagangan juga dikenakan bea cukai (10%), untuk menutupi kerugian tersebut maka negara islam juga memperlakukan hal yang demikian. Dalam pemungutan bea cukai ini dilakukan selama satu tahun sekali sebesar 10% dan diberlakukan terhadap barang yang nilainya lebih dari 200 dirham, seperti dalam hadits Ziyad Ibn Judair (yang merupakan seorang pemungut bea cukai pada Umar Ibn Khattab) Umar Ibn Khattab menulis surat kepadaku seraya berkata, “janganlah kamu memungut pajak 10% dari mereka kecuali sekali selama satu tahun, bea cukai ini juga hanya tertentu pada barang yang nilainya lebih dari 200 dirham”.

  •     Pajak Tambang Dan Harta Karun

Pajak tambang ini yang hasilnya keras seperti emas, perak, besi, dll. atau harta karun yang ditemukan di wilayah orang islam, maka seperlima (1/5) harus diserahkan kepada negara untuk memenuhi keadilan sosial.

Namun para ulama’ berbeda pendapat tentang pajak dan harta karun ini. Menurut Mazhab Syafi’i dan Hanbali ini dianggap sebagai zakat, sedangkan menurut Hanafi adalah sebagai barang rampasan.

  •     Waqaf

Wakaf  secara harfiyah berarti berhenti, menahan, atau diam. Dalam hukum islam wakaf berarti menyerahkan suatu hak milik yang tahan lama (zatnya) kepada seseorang atau nadzir (penjaga wakaf) baik berupa perorangan maupun lembaga, dengan ketentuan bahwa hasilnya akan dipergunakan sesuai dengan syariat islam. Dalam literatur yang lain wakaf  mempunyai pengertian ‘suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset di mana seseorang dapat memanfaatkan hasilnya untuk tujuan amal sepanjang barang tersebut masih ada’. 

Harta yang sudah diwakafkan keluar dari hak miliknya (wakif), bukan pula harta tersebut adalah milik lembaga pengelola wakaf, akan tetapi milik Allah yang harus dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat.

Dalam sejarah umat islam, masa keemasan perkembangan wakaf itu terjadi pada abad ke-8 dan ke-9 H. Pada waktu itu aset wakaf meliputi berbagai aset semacam masjid, mushala, sekolah, tanah pertanian, rumah, toko, kebun, pabrik, bangunan kantor, gedung pertemuan (ruang sidang), tempat perniagaan, pasar, tempat pemandian, gudang beras, dll.

Dengan demikian para guru dapat bekerja dengan baik karena nafkahnya sudah terpenuhi, dan siswa pun dapat belajar dengan tenang karena tampa memikirkan masalah uang sekolah.

C.    KESIMPULAN

Dari uraian sumber-sumber pendapatan dan penerimaan negara di atas dapat kami konklusikan bahwa dalam sejarah perekonomian umat islam sumber pendapatan negara sangat bervariatif dan cukup memberikan sumbangan yang sangat besar terhadap kelangsungan dan kemajuan suatu pemerintahan (negara), sebut saja ghanimah, shadaqah, infaq, zakat, ‘ushr, fay’i, jizyah, kharaj, bea cukai, pajak tambang dan harta karun, amwal fadhila, dan wakaf. 

Meskipun semua sumber pendapatan tersebut sangat berperan terhadap kemajuan dan berkembangnya islam dari awal-awal islam sampai islam yang sekarang, akan tetapi seiring dengan berkembangnya zaman dan ilmu pengetahuan justru sumber pendapatan negara tersebut menuai berbagai perdebatan dan kontroversi antar para ulama’, karena ada sebagian dari sumber pendapatan negara tersebut yang tidak berdasarkan al-Qur’an dan al-Hadits, melainkan menggunakan ijma’, ijtihad, dll. yang  artinya tidak semua ulama’ akan melaksanakan dan menerimanya.

D.    DAFTAR PUSTAKA

Gusfahmi, Pajak Menurut Syariah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007).
P3EI, Ekonomi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008).
Chapra, Umer, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendekia, 2000).
Mannan, Sertifikat Wakaf Tunai: Sebuah Inovasi Instrument Keuangan Islam, (Jakarta: CIBER dan PKTTI-UI)
Rasjid, Sulaiman, Fiqh Islam: Hukum Fiqh Lengkap, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, cet.ke 41, 2008)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar