font

http://khoirulfaiq.blogspot.com

Laman

Senin, 16 Januari 2012

Al-Musyarakah, Mudharabah, Dan Wakalah


Oleh: Khoirul Faiq


PENDAHULUAN


    Puji serta syukur marilah kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan beribu-ribu nikmat kepada kita semua. Shalawat serta salam tak lupa kita haturkan kepada Nabi Besar Muhammad saw. Dalam pembahasan ini membahas tiga macam kegiatan muamalah, yaitu musyarakah, Mudharabah, dan wakalah.

Al-Musyarakah merupakan suatu bentuk kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam hal bermuamalah. Namun definisi sesungguhnya secara terminologi dari kata Al-Musyarakah memiliki banyak perbedaan dikalangan ulama-ulama fiqh. Pada dasarnya definisi-definisi yang dikemukakan para ulama fiqh hanya berbeda secara redaksional, sedangkan esensi yang terkandung didalamnya adalah sama; yaitu ikatan kerjasama yang dilakukan dua orang atau lebih dalam bermuamalah dengan adanya akad syirkah yang disepakati kedua belah pihak, semua pihak yang mengikatkan diri berhak bertindak hukum terhadap harta serikat itu, dan berhak mendapatkan keuntungan seseui dengan persetujuan yang disepakati.

Mudharabah adalah suatu akad kerjasama antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola. Sedangkan wakalah sering kita artikan mewakilkan tetapi arti atau pengertian sesungguhnya ialah pelimpahan kekuasaan oleh seorang kepada orang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.
AL – MUSYARAKAH

A.    Pengertian

    Musyarakah menurut bahasa berarti Al-Ikhtilah yang artinya campur atau percampuran. Demikian dinyatakan oleh Taqiyuddin. Maksud percampuran disini ialah seseorang mencampurkan hartanya dengan harta orang lain sehingga tidak mungkin untuk dibedakan.

    Sedangkan Musyarakah menurut istilah para Fuqaha berbeda pendapat, diantaranya sebagai berikut :

1.    Menurut Sayyid Sabiq, dari kalangan ulama Hanafiah  yang dimaksud dengan syirkah ialah :
عقد بين المتشار كين في راس المال والربح
Akad antara dua orang berserikat pada pokok harta (modal) dan keuntunga”.

2.    Menurut Muhammad Al-syarbini al-khatib, dari kalangan ulama Syafi’iyah dan Hanabilah  yang dimaksud dengan musyarakah ialah:
شبو ت الحق لا شنين فا كشر على جحة الشيو ع
Ketetapan hak pada sesuatu untuk dua orang atau lebih dengan cara yang masyhur (diketahui)”.

Setelah diketahui definisi-definisi syirkah menurut para ulama, kiranya dapat dipahami bahwa yang dimaksud dengan syirkah ialah kerja sama antara dua orang atau lebih dalah suatu usaha atau bisnis yang keuntungan dan kerugiannya ditanggung bersama.

B.    Dasar Hukum

Adapun yang dijadikan dasar hukum syirkah oleh para ulama adalah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Daud dari Abi Hurairah dari Nabi Muhammad SAW. Bersabda :

انا ثا لث الشر يكين مالم يخن احدهماصاحبه فاء ذا خانه خرجت من بينهما
Aku jadi yang ketiga antara dua orang yang berserikat selama yang satu tidak khianat kepada yang lainnya, apabila yang satu berkhianat kepada pihak yang lain, maka keluarlah aku darinya.

Akad syirkah dibolehkan berdasarkan firman Allah dalam QS. Shaad: 24 dan An-Nisa: 12 , yaitu sebagai berikut :

وان كثيرا من الخلطاء ليبغي بعضهم عل بغض الا الذ ين امنوا وعملواالصلحت وقليل ما هم
Sesungguhnya kebanyakan dari orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat aniaya (dzalim) kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan yang mengerjakan amal sholeh.

…فهم شركاءفي الثلث…..
…. Maka mereka berserikat dalam sepertiga harta…..


C.    Rukun dan Macam-Macam Syirkah

Rukun syirkah diperselisihkan oleh para ulama, menurut ulama Hanafiah bahwa rukun syirkah ada tiga, yaitu  :

1.    Sighat (lafaz Ijab & kabul)
2.    Dua orang atau pihak yang berakad
3.    Objek akad

Para ulama Fiqh membagi Asy-syirkah kedalam dua bentuk, yaitu : 1. Syirkah Al-Amlak (perserikatan dalam pemilikan), 2. Syirkah Al-Uqud (perserikatan berdasarkan suatu akad).  


1.    Syirkah Al-Amlak

Syirkah dalam bentuk ini, menurut ulama fiqh, adalah perserikatan dua orang atau lebih dalam pemilikan harta suatu barang tanpa melalui atau didahului oleh akad syirkah. Syirkah Amlak dibagi menjadi dua bentuk, yaitu :

a.    Syirkah Ikhtiyar

Yaitu perserikatan yang muncul akibat tindakan hukum orang yang berserikat, seperti dua orang bersepakat membeli suatu barang atau mereka menerima hibah, wasiat, atau wakaf dari orang lain, lalu kedua orang itu menerima pemberian hibah, wasiat atau wakaf itu dan menjadi milik mereka secara berserikat. Dalam kasus seperti ini, harta yang dibeli bersama atau yang dihibahkan, diwakafkan atau yang diwasiatkan orang itu menjadi harta serikat bagi mereka berdua.

b.    Syirkah Jabar

Yaitu perserikatan yang terjadi tanpa adanya perbuatan dan kehendak pihak yang berserikat (perserikatan yang muncul secara paksa, bukan atas keinginan yang berserikat) yaitu sesuatu yang ditetapkan menjadi milik dua orang atau lebih tanpa kehendak dari mereka seperti harta warisan yang mereka terima dari seseorang yang wafat.

2.    Syirkah Al-Uqud

Syirkah Al-Uqud adalah akad yang terjadi antara dua orang atau lebih untuk bekerjasama dalam modal, keuangan dan jasa. Semua bentuk kerjasama ini apabila mendapat Keuntungan dibagi sesuai kesepakatan dan kerugian sesuai dengan porsi modal masing-masing pihak. Syirkah Uqud dibagi menjadi 4 bentuk :

a.    Syirkah ‘inan

Yaitu perserikatan dalam modal (harta) pada suatu kontrak bisnis yang dilakukan dua orang atau lebih dan keuntungan dibagi bersama. Dalam perserikatan al-‘inan, modal yang digabungkan oleh masing-masing pihak tidak harus sama jumlahnya, tetapi boleh satu pihak memiliki modal yang lebih besar dari pada pihak lainya. Demikian juga halnya dalam bentuk hal tanggung jawab dan kerja.

b.    Syirkah Mufawadhah

Yaitu perserikatan dua orang atau lebih pada suatu objek dengan syarat masing-masing pihak memasukan modal yang sama jumlahnya, serta melakukan tindakan hukum (kerja) yang sama. Sehingga masing-masing pihak dapat bertindak hukum atas nama orang-orang yang berserikat.

c.    Syirkah Abdan / A’mal

Yaitu perserikatan yang dilaksanakan oleh dua pihak atau lebih untuk menerima suatu pekerjaan yang dikerjakan secara kolektif. Hasil atau imbalan yang diterima dari pekerjaan itu dibagi bersama sesuai dengan kesepakatan mereka. Pada syirkah ini yang terpenting adalah pembagian kerja atas dasar keahlian masing-masing sesuai kesepakatan.

d.    Syirkah Al-Wujuh

Yaitu serikat yang dilakukan dua orang atau lebih yang tidak punya modal sama sekali, dan mereka melakukan suatu pembelian dengan bayar tangguh serta menjualnya dengan harga tunai; sedangkan keuntungan yang diperoleh dibagi bersama. Dalam perserikatan seperti ini, pihak yang berserikat membeli barang secara tangguh, hanya atas dasar suatu kepercayaan, kemudian barang tersebut mereka jual dengan harga tunai, sehingga mereka meraih keuntungan.

e.    Syirah Mudharabah

Yaitu percampuran antara modal dengan jasa (keahlian/ keterampilan) dari pihak-pihak yang berserikat dengan ketentuan bila bisnis untung maka pembagian keuntungannya sesuai dengan bagi hasil yang disepakati oleh pihak-pihak yang bercampur, sedangkan apabila rugi, maka pembagian kerugian sesuai dengan porsi modal masing-masing.

D.    Fatwa DSN-MUI Tentang Musyarakah

     Ditetapkan di    : Jakarta
     Tanggal         :  08 Muharram 1421 H / 13 April 2000 M

1.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a.    Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukkan tujuan kontrak (akad).
b.    Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak.
c.  Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern.

2.    Pihak-pihak yang berkontrak harus cakap hukum, dan memperhatikan hal-hal berikut:

a.    Kompeten dalam memberikan atau diberikan kekuasaan perwakilan.
b.   Setiap mitra harus menyediakan dana dan pekerjaan, dan setiap mitra melaksanakan kerja sebagai wakil.
c.    Setiap mitra memiliki hak untuk mengatur aset musyarakah dalam proses bisnis normal.
d.   Setiap mitra memberi wewenang kepada mitra yang lain untuk mengelola aset dan masing-masing dianggap telah diberi wewenang untuk melakukan aktifitas musyarakah dengan memperhatikan kepentingan mitranya, tanpa melakukan kelalaian dan kesalahan yang disengaja.
e. Seorang mitra tidak diizinkan untuk mencairkan atau menginvestasikan dana untuk kepentingannya sendiri.

3.    Obyek akad (modal, kerja, keuntungan dan kerugian)

a.    Modal
     i. Modal yang diberikan harus uang tunai, emas, perak atau yang nilainya sama. Modal dapat terdiri dari aset perdagangan, seperti barang-barang, properti, dan sebagainya. Jika modal berbentuk aset, harus terlebih dahulu dinilai dengan tunai dan disepakati oleh para mitra.
     ii. Para pihak tidak boleh meminjam, meminjamkan, menyumbangkan atau menghadiahkan modal musyarakah kepada pihak lain, kecuali atas dasar kesepakatan.
     iii. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan musyarakah tidak ada jaminan, namun untuk menghindari terjadinya penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan.

b.    Kerja
     i. Partisipasi para mitra dalam pekerjaan merupakan dasar pelaksanaan musyarakah; akan tetapi, kesamaan porsi kerja bukanlah merupakan syarat. Seorang mitra boleh melaksanakan kerja lebih banyak dari yang lainnya, dan dalam hal ini ia boleh menuntut bagian keuntungan tambahan bagi dirinya.
     ii. Setiap mitra melaksanakan kerja dalam musyarakah atas nama pribadi dan wakil dari mitranya. Kedudukan masing-masing dalam organisasi kerja harus dijelaskan dalam kontrak.

c.    Keuntungan
     i. Keuntungan harus dikuantifikasi dengan jelas untuk menghindarkan perbedaan dan sengketa pada waktu alokasi keuntungan atau penghentian musyarakah.
     ii. Setiap keuntungan mitra harus dibagikan secara proporsional atas dasar seluruh keuntungan dan tidak ada jumlah yang ditentukan di awal yang ditetapkan bagi seorang mitra.
     iii. Seorang mitra boleh mengusulkan bahwa jika keuntungan melebihi jumlah tertentu, kelebihan atau prosentase itu diberikan kepadanya.
     iv. Sistem pembagian keuntungan harus tertuang dengan jelas dalam akad.

d.    Kerugian
Kerugian harus dibagi di antara para mitra secara proporsional menurut saham masing-masing dalam modal.

4.    Biaya Operasional dan Persengketaan

     a. Biaya operasional dibebankan pada modal bersama.
     b. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

5. Undang-Undang Perbankan Syariah tentang Musyarakah 
Pasal 19 ayat 1c No 21 tahun 2008,  menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah. yang dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan, sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi dana masing-masing.

AL – MUDHARABAH

A.    Pengertian

    Mudharabah berasal dari kata dharb, yang berarti secara harfiah adalah berpergian, memukul atau berjalan. Pengertian ini tepatnya adalah proses seseorang memukulkan atau menjalankanya kakinya dalam menjalankan usaha.

    Secara teknis, mudharabah dikemukakan oleh para ulama sebagai beikut.
1.    Menurut para fuqaha al-mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shahibul mal) menyediakan seluruh modalnya (100%), sedangkan pihak lainya menjadi pengelola. Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, maka ia harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.
2.    Imam Hanabilah mengemukakan :
” Ibarat pemilik harta menyerahkan hartanya dengan ukuran tertentu kepada orang yang berdagang dengan keuntungan bagian yang telah diketahui”.

B.    Dasar Hukum

    Secara umum, landasan dasar syari’ah al-mudharabah lebih mencerminkan anjuran untuk melakukan usaha. Hal ini tampak dalam ayat-ayat dan hadist berikut ini.

a. Al – Qur’an

......... وَءَاخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي اْلأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللهِ .........
“.... dan dari orang-orang yang berjalan dimuka bumi mencari sebagian karunia Allah SWT ....” (al-Muzammil: 20)
    Yang menjadi wajhud-dilalah atau argumen dari surah ini adalah adanya yadhribun yang sama dengan akar kata mudharabah yang berarti melakukan suatu perjalanan usaha.

..... فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلاَةُ فَانْتَشِرُوا فِي اْلأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللهِ
    ” Apabila telah ditunaikan shalat maka bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah SWT.....” (al-jumu’ah: 10)

b. Hadist

ﺜﻼﺚﻓﻴﻬﻦﺍﻟﺑﺮﻛﺔﺍﻟﺑﻴﻊﺇﻟﻰﺃﺟﻝﻮﺍﻟﻤﻘﺎﺮﺿﺔﻮﺃﺧﻼﻁﺍﻟﺑﺭﺑﺎﻟﺷﻌﻴﺭﻟﻟﺑﻴﺖﻻﻟﻟﺑﻴﻊ
    “ Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk di jual”.

C.    Fatwa DSN-MUI

    Al-Mudharabah terdapat dalam fatwa MUI No.7 / DSN – MUI / IV / 2000 tentang menetapkan PEMBIAYAAN MUDHARABAH dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :

Pertama: Ketentuan Pembiayaan

1.    Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan oleh LKS kepada pihak lain untuk suatu usaha yang produktif
2.  LKS sebagai Shahibul Maal membiayai 100% kebutuhan suatu proyek, sedangkan nasabah bertindak sebagai mudharib
3.  Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak.
4.   Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai dengan syari’ah dan LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek tetapi mempunyai hak untuk melakukan pembinaan dan pengawasan
5.    Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.
6.   LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika mudharib melakukan kesalahan yang disengaja atau menyalahi perjanjian
7.    Pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun agar mudharib tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharib atau pihak ketiga, apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad
8.   Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh LKS dengan memperhatikan fatwa DSN
9.    Biaya operasional dibebankan kepada mudharib
10.  Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran terhadap kesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua: Rukun dan Syarat Pembiayaan

1.    Penyedia dana dan pengelola harus cakap hukum
2.   Pernyataan ijab qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad), dengan memperhatikan:
a.    Penawaran dan penerimaan harus secara eksplisit menunjukan tujuan kontrak (akad)
b.    Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak
c.   Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara komunikasi modern
3.    Modal ialah sejumlah uang dan / aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib untuk tujuan usaha dengan syarat:
a.    Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya
b.   Modal dapat berbentuk uang / barang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam bentuk aset, maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad
c.   Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik secara bertahap maupun tidak, sesuai daengan kesepakatan dalam akad
4.   Keuntungan mudharibah ialah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat keuntungan berikut ini harus dipenuhi:
a.    Harus diperuntukan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu pihak
b.   Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan pada waktu kontrak disepakati dan harus dalam bentuk prosentasi (nisbah) dari keuntungan sesuai kesepakatan. Perubahan nisbah harus berdasarkan kesepakatan
c.   Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudhrabah, dan pengelola tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan yang disengaja oleh si pengelola.
5.   Kegiatan usaha oleh pengelola, sebagai perimbangan (muqabil) modal yang disediakan oleh penyedia dana, harus memperhatikan:
a.    Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan
b.    Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan
c.    Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari’ah Islam dalam tindakanya yang berhubungan dengan mudhrabah, dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam aktifitas itu.

Ketiga: Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan

1.    Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu
2.    Kontrak tidak boleh dikaitkan dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum tentu terjadi
3.    Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena akadnya bersifat amanah, kecuali akibat dari kesalahan disengaja, kelalaian atau pelanggaran kesepakatan.
4.    Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibanya atu jika terjadi perselisihan diantara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

WAKALAH

A.    Pengertian

    Wakalah atau wikalah yang berarti penyerahan, pendelegasian atau pemberian mandate. Dalam bahasa Arab, hal ini dapat dipahami sebagai at-tafwidh. Contoh kalimat ”aku serahkan urusanku kepada Allah” mewakili pengertian istilah tersebut.
 Pengertian yang sama dengan menggunakan kata al-hifzhu disebut dalam firman Allah SWT:
حَسْبُنَا اللهُ وَنِعْمَ الْوَكِيلُ
Cukuplah Allah sebagai Penolong kami dan Dia sebaik – baik     Pemelihara”. (Ali – Imran : 173)

    Akan tetapi, yang dimaksud sebagai al-Wakalah dalam pembahasan bab ini adalah pelimpahan kekuasaan oleh seseorang kepada yang lain dalam hal-hal yang diwakilkan.

B.    Dasar Hukum

    Islam mensyariatkan al-wakalah karena manusia membutuhkanya. Tidak setiap orang mempunyai kemampuan atau kesempatan untuk menyelesaikan segala urusanya sendiri. Pada suatu kesempatan, seseorang perlu mendelegasikan suatu pekerjaan kepada orang lain untuk mewakili dirinya.


a. Al-Qur’an

وَكَذَلِكَ بَعَثْنَاهُمْ لِيَتَسَآءَلُوا بَيْنَهُمْ قَالَ قَآئِلٌ مِّنْهُمْ كَمْ لَبِثْتُمْ قَالُوا لَبِثْنَا يَوْمًا أَوْ بَعْضَ يَوْمٍ قَالُوا رَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَا لَبِثْتُمْ فَابْعَثُوا أَحَدَكُمْ بِوَرِقِكُمْ هَذِهِ إِلَى الْمَدِينَةِ فَلْيَنظُرْ أَيُّهَآ أَزْكَى طَعَامًا فَلْيَأْتِكُمْ بِرِزْقٍ مِّنْهُ وَلْيَتَلَطَّفْ وَلاَيُشْعِرَنَّ بِكُمْ أَحَدًا
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya diantara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang diantara mereka:"Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)". Mereka menjawab:"Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari". Berkata (yang lain lagi):"Rabb kamu lebih mengetahui berapa lama kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendakla dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah ia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seorangpun”. (QS. 18:19)
قَالَ اجْعَلْنِي عَلَى خَزَائِنِ اْلأَرْضِ إِنِّي حَفِيظٌ عَلِيمٌ
Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir); sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan". (QS. 12:55)

b. Al-Hadist

ﺑﻌﺚ ﺃﺑﺎﺭﺍﻓﻊ ﻭﺭﺟﻼ ﻤﻥﺍﻻﻧﺻﺎﺭﻓﺰﻭﺟﺎﻩ ﻤﻴﻤﻭﻧﺔ ﺒﻧﺖﺍﻠﺤﺎﺮﺚ
    “Bahwasanya Rasulullah saw. mewakilkan kepada Abu Rafi’ dan seorang Anshar untuk mewakilinya mengawini Maimunah bintil-Harits”.

    Dalam kehidupan sehari-hari, Rasulullah telah mewakilkan kepada orang lain untuk berbagai urusan. Diantaranya adalah membayar hutang, mewakilkan penetapan had dan membayarnya, mewakilkan pengurusan unta, membagi kandang hewan dan lain-lainya.

c. Ijma’

    Para ulama pun bersepakat dengan ijma’ atas dibolehkanya wakalah. Mereka bahkan ada yang cenderung mensunnahkanya dengan alasan bahwa hal tersebut termasuk jenis tawa’un atau tolong-menolong atas dasar kebaikan dan taqwa. Tolong-menolong diserukan oleh Al-Qur’an dan disunnahkan oleh Rasulullah saw.110

وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَتَعَاوَنُوا عَلَى اْلإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ
    ”Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”. (QS. 5:2)
Rasulullah saw bersabda,

ﻭﺍﷲﻓﻰﻋﻮﻥﺍﻠﻌﺑﺪﻤﺎﻛﺎﻥﺍﻠﻌﺑﺪﻓﻰﻋﻮﻥﺃﺨﻴﻪ
    “Dan Allah menolong hamba selama hamba menolong saudaranya”.(HR. Muslim No. 4867, Kitab az-Zikr)

C.    Fatwa DSN-MUI

    Al-Mudharabah terdapat dalam fatwa MUI No.10 / DSN – MUI / IV / 2000 tentang WAKALAH dengan ketentuan – ketentuan sebagai berikut :

Pertama: Ketentuan Tentang Wakalah

1.    Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukan kehendak mereka dalam mengadakan kontrak(akad)
2.    Wakalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak.

Kedua: Rukun dan Syarat Wakalah

1.    Syarat – syarat Muwakkil(yang mewakilkan)
a.    Pemilik sah yang dapat bertindak terhadap sesuatu yang diwakilkan.
b.    Orang mukallaf atau anak mumayyiz dalam batas-batas tertentu, yakni dalam hal-hal yang bermanfaat baginya seperti mewakilkan untuk menerima hibah, menerima sedekah dan sebagainya.

2.    Syarat – Syarat Wakil (yang mewakili)

a.    Cakap Hukum
b.    Dapat mengerjakan tugas yang diwakilkan kepadanya
c.    Wakil adalah orang yang diberi amanat
3.    Hal – hal yang diwakilkan
a.    Diketahui dengan jelas oleh orang yang mewakili
b.    Tidak bertentangan dengan Syari’ah Islam
c.    Dapat mewakilkan menurut Syari’ah Islam

Ketiga: Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibanya atau jika terjadi perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaianya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah.

DAFTAR PUSTAKA

Hendi, Sehundi. 2008. Fiqh Muamalah. Jakarta: PT Raja Grafindo Pesada.
Hohoen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Jakarta: Gaya Media Pratama.
Lathif, Azharuddin. 2005. Fiqh Muamalah. Jakarta: UIN Jakarta Press.
Syafi’i Antonio, Muhammad. 2001. Bank Syari’ah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar