Seperti
biasa, kenaikan harga BBM bersubsidi yang diumumkan oleh pemerintah
langsung diikuti dengan berbagai kenaikan harga. Seperti biasanya, yang
paling terkena dampaknya oleh kebijakan tersebut adalah kelompok
masyarakat paling bawah akibat adanya kebutuhan hidup yang semakin
meningkat. Kebijakan pemerintah untuk memberikan Bantuan Langsung
Sementara Masyarakat (BLSM) sebesar Rp 150.000 selama empat bulan kepada
sekitar 15,5 juta keluarga tidak mampu atau keluarga miskin tentunya
hanya sementara saja.
Sebagai
bangsa tentunya kita berharap, agar setiap kali ada penyesuaian harga
BBM tidaklah selalu menimbulkan gejolak sosial di masyarakat. Berbagai
penolakan dan keberatan yang membahana dilapisan masyarakat, tentunya
tidak semata-mata karena kurangnya sosialisasi yang dilakukan oleh
pemerintah. Bukan pula karena ada politisasi di tahun politik menjelang
Pemilu 2014. Tetapi memang faktanya rakyat, terutama kalangan bawah,
merasa galau dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
Oleh
karena itu, kenaikan harga BBM harus diikuti dengan kebijakan konversi
energi secara lebih luas dan menyeluruh. Diperlukan adanya diverifikasi
energi secara menyeluruh, sebab kenaikan BBM ini hanyalah salah satu
bagian saja. Selama ini program diversifikasi energi berjalan kurang
maksimal dan bahkan cenderung terbengkalai. Selain itu, pemerintah juga
harus memikirkan subsidi yang cukup terhadap subsidi bahan energi
terbarukan dan program-program alternatif lainnya dalam rangka menjamin
ketersediaan kebutuhan energi dan keterjangkauan energi atau ketahanan
energi.
Mungkin pemerintah kita
perlu belajar kepada negara Brazil yang berhasil dalam menggenjot
produksi energi terbarukan seperti bioethanol. Brazil memberlukan hal
yang sebaliknya dengan memberlakukan pajak yang besar pada bahan bakar
bensin dan memberikan insentif pada industri hulu bioethanol. Pada
periode tahun 1970 an, hampir 80% kebutuhan BBM Brazil berasal dari
impor. Dengan kebijakan yang memihak pada EBT, saat ini lebih dari 50%
kebutuhan BBM mobil pribadi sudah digantikan dengan bioethanol dan 90%
dari kebutuhan listriknya menggunakan pembangkit listrik tenaga air.
(Hofstrand)
Pemerintah seharusnya
bisa memberi kesempatan pada industri biofuel dengan memberikan
insentif atau subsidi yang sama pada BBM dan BBN. Mandatori pemakaian
BBN seharusnya dinyatakan secara jelas dan eksplisit dalam kebijakan
penganggaran yang tercermin dalam APBN. Selain itu, pemerintah juga bisa
memberikan disinsentif ekspor. Kebijakan ini bisa dilakukan mengikuti
sukses hilirisasi produk Crude Plam Oil (CPO) yang sudah dilakukan
Kemenkeu. Ekstensifikasi kebijakan hilirisasi produk CPO bisa dilakukan
pada produk biodiesel dengan mengenakan pajak ekspor progresif pada
biodiesel.
KMI
Jakarta, 25 Juni 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar