KEADILAN DISTRIBUSI
Oleh: Khoirul Faiq
1. Distribusi
Dalam
perekonomian modern saat ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor
distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktifitas perekonomian.
Distribusi ini termasuk distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan, baik
yang sifatnya melalui kegiatan-kegiatan ekonomi maupun yang sifatnya sosial
(yang memang distribusi jenis ini begitu kental dalam perekonomian Islam).
Muhammad
Anas Zarqa (1995) mengungkapkan ada beberapa faktor yang menjadi dasar
distribusi atau redistribusi, yaitu yang berbentuk tukar menukar (exchange),
kebutuhan (need), kekuasaan (power), sistem sosial dan nilai
etika (social sistem and etichal values).
Muhammad Anas Zarqa juga melihat begitu pentingnya memelihara kelancaran
distribusi ini agar tercipta sebuah perekonomian yang dinamis, adil, dan
produktif. Contoh yang sangat jelas dari urgensi distribusi dalam Islam adalah
dengan adanya mekanisme zakat dalam ekonomi.
Islam
juga menjunjung tinggi hak individu atas kepemilikan terhadap sesuatu, namun
karena mekanisme kepemilikan tersebut tidak dapat dilakukan oleh semua
individu,[1] misalnya ketentuan yang
menyebutkan orang yang berkuasa, dan berkeahlian akan mendapatkan lebih yang
kemudian cenderung menghambat pemerataan kesejahteraan, maka diperlukan sistem
yang menjamin terjadinya distribusi atau redistribusi dalam perekonomian.
Dalam
Islam peminjaman kelancaran distribusi ini sudah disistemkan melalui
prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan syariah, misalnya dengan menjalankan
mekanisme zakat dan mekanisme jual-beli yang diatur oleh syariah.
Dari persepektif lain dalam dunia
usaha (ekonomi riil) kegiatan distribusi dapat juga diartikan sebagai usaha
melancarkan penyebaran sumber daya sehingga kesejahteraan dapat dengan merata
dirasakan. Artinya distribusi terjadi karena aktifitas ekonomi, seperti kegiatan
jual-beli dan dunia kerja (reward and effort). Bahkan pelaku distribusi
kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan disamping konsumen dan produsen.
Sehingga menjadi penting tentunya konsep ekonomi Islam melihat posisi sektor
ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan persepektif Islam.
2.
Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Mekanisme harga tidak selalu bisa
menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil, sebab ada pihak yang
semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal ini terkait dengan
pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi kesenjangan
pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar tercipta suatu
keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme harga. Sebab pola
mekanisme harga yang sepenuhnya ditentukan oleh tarikan permintaan dan
penawaran di pasar. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga
yang terjadi maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir
kelompok tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok
masyarakat lain yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas
negara adalah untuk memastikan tidak adanya kesenjangan pendapatan di
masyarakat.[2]
Distribusi menjadi posisi penting
dari teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan distribusi berkaitan bukan
saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek
politik. Maka distribusi dalam ekonomi Islam menjadi perhatian bagi akiran
pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak, keadaan
ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam di tengah tengah umat manusia yang
lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih
baik. Sebenarnya konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana
ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana bisa
terditribusi penggunaan potensi
kemanusiaannya, yang berupa penghargaan hak hidup dalam kehidupan. Distribusi
harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran
antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup.
Oleh karena itu dalam distribusi
pendapatan berhubungan dengan beberapa masalah:
ü
Bagaimana mengatur adanya distribusi
pendapatan ?
ü
Apakah distribusi pendapatan yang
dilakukan harus mengarah pada pembentukan masyarakat yang mempunyai pendapatan
yang sama ?
ü
Siapa yang menjamin adanya distribusi
pendapatan ini di masyarakat ?
Untuk
menjawab masalah ini, Islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat,
infaq, dan shadaqah. Kemudian baitul mal membagikan kepada orang yang
membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi
bantuan langsung ataupun tidak langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi
pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas
dasar maslahah; dimana antara satu orang dengan orang yang lain dalam kedudukan
sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni, menghargai
dan menghormati peran masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di
hadapan Allah.[3]
3.
Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Mekanisme harga tidak selalu bisa
menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil, sebab ada pihak yang
semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal ini terkait dengan
pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi kesenjangan
pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar tercipta suatu
keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme harga. Sebab pola
mekanisme harga yang sepenuhnya ditentukan oleh tarikan permintaan dan
penawaran di pasar. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga
yang terjadi maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir
kelompok tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok
masyarakat lain yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas
negara adalah untuk memastikan tidak adanya kesenjangan pendapatan di
masyarakat.[4]
Distribusi menjadi posisi penting
dari teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan distribusi berkaitan bukan
saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek
politik. Maka distribusi dalam ekonomi Islam menjadi perhatian bagi akiran
pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak, keadaan
ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam di tengah tengah umat manusia yang
lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih
baik. Sebenarnya konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana
ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana bisa
terditribusi penggunaan potensi
kemanusiaannya. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan
kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup.
Oleh karena itu dalam distribusi
pendapatan berhubungan dengan beberapa masalah:
ü
Bagaimana mengatur adanya distribusi
pendapatan ?
ü
Apakah distribusi pendapatan yang
dilakukan harus mengarah pada pembentukan masyarakat yang mempunyai pendapatan
yang sama ?
ü
Siapa yang menjamin adanya distribusi
pendapatan ini di masyarakat ?
Untuk
menjawab masalah ini, Islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat,
infaq, dan shadaqah. Kemudian baitul mal membagikan kepada orang yang
membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi
bantuan langsung ataupun tidak langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi
pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas dasar
maslahah; dimana antara satu orang dengan orang yang lain dalam kedudukan sama
atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni, menghargai dan
menghormati peran masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di
hadapan Allah.[5]
Dalam
nilai Islam terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapatan yaitu zakat
(sifatnya wajib) dan infak (sifatnya sukarela). Dalam kebanyakan kasus, sektor
sukarela tidak dapat secara mutlak dijelaskan bahwa tindakan sukarela ini
memenuhi persyaratan transitivitas. Jika pekerjaan dengan gaji Rp 10 juta lebih
disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 5 juta; dan pekerjaan dengan gaji Rp
5 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 2 juta. Apakah masuk
akal jika pekerjaan dengan gaji Rp 2 juta lebih disukai daripada pekerjaan
dengan gaji Rp 10 juta? Menurut aksioma transitivitas hal ini dianggap tidak
masuk akal (irrasional) karena tidak konsisten. Namun bila dikaitkan dengan
sektor sukarela hal-hal yang sepertinya irrasional seperti ini dapat dijelaskan
sebagai suatu hal yang rasional.
Efisiensi dan Keadilan
Efisiensi alokasi menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis
teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Namun konsep tersebut tidak
mengatakan apapun, apakah alokasi tersebut harus adil?. Para ekonom
konvensional memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang suatu distribusi yang
adil.
1.
Konsep Egalitarian
Menurut konsep ini, keadilan tercapai bila setiap orang yang terdapat
dalam suatu kelompok masyarakat menerima kepuasan yang sama dalam hal ini
adalah jumlah barang yang sama.
2.
Konsep Rawlsian
Konsep ini mengatakan bahwa distribusi dikatakan adil bila mampu memaksimalkan
kepuasan kelompok masyarakat yang paling miskin (the least well off person).
3.
Konsep Utilitarian
Konsep ini menyatakan bahwa keadilan distribusi tercapai apabila total
kepuasan (utilitas) setiap orang dalam kelompok masyarakat mampu dimaksimalkan
4.
Konsep Market Oriented
Menurut konsep ini, hasil pertukaran melalui proses mekanisme pasar
adalah yang paling adil
Dalam konsep ekonomi Islam, adil adalah tidak mendzalimi dan tidak
didzalimi. Bisa jadi konsep sama rasa sama rata tidak adil dalam pandangan
ekonomi Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras.
Namun bisa jadi pula konsep “anda layak mendapatkan apa yang anda perbuat (you get what you deserve)” pun tidak
adil dalam pandangan ekonomi Islam karena orang yang sumber daya atau
kepemilikannya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang
kepemilikannya rendah sehingga yang kuat dapat mendzalimi yang lemah[6].
1. Infak dan Maksimalisasi Kepuasan
Dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan, dapat saja
pemerintah memungut pajak dalam sistem ekonomi konvensional atau zakat dalam
sistem ekonomi Islam. Namun apakah pungutan yang bersifat wajib tersebut akan
mengurangi kepuasan orang yang membayarnya atau malah sebaliknya. Rasionalitas
dalam kerangka definisi self interest dapat menerangkan misalnya perilaku
pemberian donasi, infak/sedekah, dan tindakan menolong lainnya.
2. Perbandingan Dengan Sistem
Sosialis dan Sistem Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis
mengakui kepemilikan harta pribadi secara penuh dan tidak ada kebebasan yang
sempurna. Sebagian dapat memperoleh kebebasan yang lebih daripada yang lain. Di
samping itu adanya trade off antara pemerataan dan efisiensi dalam
alokasi sumber daya, guna memaksimalikan output dan kesejahteraan sosial
mengimplikasikan adanya distribusi pendapatan yang tidak merata.
Sementara pada sistem ekonomi sosialis
sentralisasi yang digabung dengan kebijakan redistribusi oleh perencana
sosialis akan menimbulkan masalah inefisiensi, produktivitas yang rendah dan
tidak adanya insentif (dorongan) untuk bekerja yang disebabkan karena
mengecilnya kepuasan dan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier).
Jika dibandingkan dengan sistem kapitalis dan sistem sosialis, maka
sistem ekonomi Islam baik dengan kepemilikan yang sama maupun kepemilikan yang
berbeda dapat mencapai persamaan dan efisiensi secara bersamaan. Hal ini bisa
dilihat pada isowelfare (kesejahteraan, keselamatan) dan tingkat
produksi dalam ekonomi Islam yang lebih tinggi dibanding dengan sistem ekonomi
lainnya.
Pencapaian yang disebabkan oleh:
Ø Dalam
sistem kapitalis, adanya gap kepemilikan awal, dalam memanfaatkan sumber daya
yang ada.
Ø Dalam
sistem sosialis, utility possibility
frontier dan production possibility
frontier berada pada tingkat yang lebih rendah karena masalah inefisiensi,
rendahnya produktivitas dan berkurangnya insentif
Ø Dalam
sistem Islam, nilai turunnya kepuasan lebih kecil dibandingkan naiknya kepuasan
Bersumber dari said bin
al-Musayyab dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda,
“Tidaklah orang yang melakukan Ikhtikar itu kecuali ia berdosa. Ikhtikar ini seringkali diterjemahkan sebagai monopoli
dan atau penimbunan. Padahal sebenarnya ikhtikar tidak identik dengan monopoli
dan atau penimbunan. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah
dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang
untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli
sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah
ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara
menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah
ekonominya disebut monopoly’s rent.
Jadi dalam Islam, monopoli boleh,
sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. Karena ketika seorang produsen menimbun
barang bukan untuk persediaan melainkan hanya untuk permainan agar harga
semakin meningkat -sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran ketika
permintaan meningkat dan penawaran sedikit maka harga akan meningkat-. Kemudian
produsen akan menjual setelah harga tinggi agar ia memperoleh keuntungan yang
berlipat, hal ini tidak diperbolehkan sebab akan menimbulkan kesengsaraan bagi
pihak lain terutama bagi konsumen dari kalangan yang kurang mampu. Namun
apabila produsen menimbun barang untuk persediaan, misalkan dikarenakan cuaca
atau iklim yang tidak menentu yang dapat menyebabkan tersendatnya distribusi
barang, sehingga ketika barang tersedia, maka produsen langsung menimbun barang
agar persediaan cukup untuk jangka waktu yang lebih lama. Hal ini diperbolehkan
dalam Islam, sebab menimbun barang yang dilakukan bukan bertujuan mencari
keuntungan berlipat melainkan untuk persediaan barang.
Singkatnya,
suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar, apabila salah satu dari tiga
hal tersebut terpenuhi :
1. Mengupayakan adanya kelangkan barang baik
dengan cara menimbun barang atau mengenakan hambatan masuk (entry-barriers),
agar barang tersebut langka di pasaran.
2. Menjual dengan harga yang lebih tinggi
dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.
3. Mengambil keuntungan yang lebih tinggi
dibandingkan keuntungan sebelum tidakan
(1) dan (2) dilakukan .
[1]
Tidak dapat melakukan bukan berarti individu tersebut tidak mampu, tapi
lebih karena alasan kesempatan yang tidak ada atau ketidakberdayaan akibat
keadaan lingkungan diluar dirinya, artinya diluar kemampuan tenaga dan
fikirannya.
[2] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi
Konvensional.
[4] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam
dan Ekonomi Konvensional.
[6] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam Dan Ekonomi Konvensional.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar