font

http://khoirulfaiq.blogspot.com

Laman

Selasa, 16 April 2013


KEADILAN DISTRIBUSI

Oleh: Khoirul Faiq
1.       Distribusi

Dalam perekonomian modern saat ini, tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sektor distribusi merupakan sektor yang terpenting dalam aktifitas perekonomian. Distribusi ini termasuk distribusi pendapatan dan distribusi kekayaan, baik yang sifatnya melalui kegiatan-kegiatan ekonomi maupun yang sifatnya sosial (yang memang distribusi jenis ini begitu kental dalam perekonomian Islam).
Muhammad Anas Zarqa (1995) mengungkapkan ada beberapa faktor yang menjadi dasar distribusi atau redistribusi, yaitu yang berbentuk tukar menukar (exchange), kebutuhan (need), kekuasaan (power), sistem sosial dan nilai etika (social sistem and etichal values). Muhammad Anas Zarqa juga melihat begitu pentingnya memelihara kelancaran distribusi ini agar tercipta sebuah perekonomian yang dinamis, adil, dan produktif. Contoh yang sangat jelas dari urgensi distribusi dalam Islam adalah dengan adanya mekanisme zakat dalam ekonomi.

Islam juga menjunjung tinggi hak individu atas kepemilikan terhadap sesuatu, namun karena mekanisme kepemilikan tersebut tidak dapat dilakukan oleh semua individu,[1] misalnya ketentuan yang menyebutkan orang yang berkuasa, dan berkeahlian akan mendapatkan lebih yang kemudian cenderung menghambat pemerataan kesejahteraan, maka diperlukan sistem yang menjamin terjadinya distribusi atau redistribusi dalam perekonomian.
Dalam Islam peminjaman kelancaran distribusi ini sudah disistemkan melalui prinsip-prinsip atau ketentuan-ketentuan syariah, misalnya dengan menjalankan mekanisme zakat dan mekanisme jual-beli yang diatur oleh syariah.
Dari persepektif lain dalam dunia usaha (ekonomi riil) kegiatan distribusi dapat juga diartikan sebagai usaha melancarkan penyebaran sumber daya sehingga kesejahteraan dapat dengan merata dirasakan. Artinya distribusi terjadi karena aktifitas ekonomi, seperti kegiatan jual-beli dan dunia kerja (reward and effort). Bahkan pelaku distribusi kini telah menjadi pelaku ekonomi dominan disamping konsumen dan produsen. Sehingga menjadi penting tentunya konsep ekonomi Islam melihat posisi sektor ini dalam mekanisme perekonomian menggunakan persepektif Islam.
2.      Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Mekanisme harga tidak selalu bisa menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil, sebab ada pihak yang semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal ini terkait dengan pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi kesenjangan pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar tercipta suatu keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme harga. Sebab pola mekanisme harga yang sepenuhnya ditentukan oleh tarikan permintaan dan penawaran di pasar. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga yang terjadi maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir kelompok tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok masyarakat lain yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas negara adalah untuk memastikan tidak adanya kesenjangan pendapatan di masyarakat.[2]
Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan distribusi berkaitan bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek politik. Maka distribusi dalam ekonomi Islam menjadi perhatian bagi akiran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak, keadaan ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam di tengah tengah umat manusia yang lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik. Sebenarnya konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana bisa terditribusi penggunaan  potensi kemanusiaannya, yang berupa penghargaan hak hidup dalam kehidupan. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup.
Oleh karena itu dalam distribusi pendapatan berhubungan dengan beberapa masalah:
ü  Bagaimana mengatur adanya distribusi pendapatan ?
ü  Apakah distribusi pendapatan yang dilakukan harus mengarah pada pembentukan masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama ?
ü  Siapa yang menjamin adanya distribusi pendapatan ini di masyarakat ?
Untuk menjawab masalah ini, Islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat, infaq, dan shadaqah. Kemudian baitul mal membagikan kepada orang yang membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas dasar maslahah; dimana antara satu orang dengan orang yang lain dalam kedudukan sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni, menghargai dan menghormati peran masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di hadapan Allah.[3]
3.      Distribusi Pendapatan Dalam Islam
Mekanisme harga tidak selalu bisa menjamin dipecahkannya masalah “For Whom” secara adil, sebab ada pihak yang semakin dirugikan dan diinjak-injak oleh pihak lain. Hal ini terkait dengan pola kepemilikan yang terjadi di masyarakat, dimana terjadi kesenjangan pendapatan di masyarakat yang memerlukan suatu mekanisme agar tercipta suatu keadilan, dan hal ini kurang dapat dilakukan oleh mekanisme harga. Sebab pola mekanisme harga yang sepenuhnya ditentukan oleh tarikan permintaan dan penawaran di pasar. Apabila hal ini sepenuhnya dilepas menurut mekanisme harga yang terjadi maka akan dapat menyebabkan pemusatan kekayaan kepada segelintir kelompok tertentu yang memiliki akses modal lebih besar dan merugikan kelompok masyarakat lain yang lemah yang kurang memiliki akses modal. Sehingga tugas negara adalah untuk memastikan tidak adanya kesenjangan pendapatan di masyarakat.[4]
Distribusi menjadi posisi penting dari teori ekonomi mikro Islam karena pembahasan distribusi berkaitan bukan saja berhubungan dengan aspek ekonomi tetapi juga aspek sosial dan aspek politik. Maka distribusi dalam ekonomi Islam menjadi perhatian bagi akiran pemikir ekonomi Islam dan konvensional sampai saat ini. Di lain pihak, keadaan ini berkaitan dengan visi ekonomi Islam di tengah tengah umat manusia yang lebih sering mengedepankan adanya jaminan pemenuhan kebutuhan hidup yang lebih baik. Sebenarnya konsep Islam tidak hanya mengedepankan aspek ekonomi, dimana ukuran berdasarkan atas jumlah harta kepemilikan, tetapi bagaimana bisa terditribusi penggunaan  potensi kemanusiaannya. Distribusi harta tidak akan mempunyai dampak yang signifikan kalau tidak ada kesadaran antara sesama manusia akan kesamaan hak hidup.
Oleh karena itu dalam distribusi pendapatan berhubungan dengan beberapa masalah:
ü  Bagaimana mengatur adanya distribusi pendapatan ?
ü  Apakah distribusi pendapatan yang dilakukan harus mengarah pada pembentukan masyarakat yang mempunyai pendapatan yang sama ?
ü  Siapa yang menjamin adanya distribusi pendapatan ini di masyarakat ?
Untuk menjawab masalah ini, Islam telah menganjurkan untuk mengerjakan zakat, infaq, dan shadaqah. Kemudian baitul mal membagikan kepada orang yang membutuhkan untuk meringankan masalah hidup orang lain dengan cara memberi bantuan langsung ataupun tidak langsung. Islam tidak mengarahkan distribusi pendapatan yang sama rata, letak pemerataan dalam Islam adalah keadilan atas dasar maslahah; dimana antara satu orang dengan orang yang lain dalam kedudukan sama atau berbeda, mampu atau tidak mampu saling bisa menyantuni, menghargai dan menghormati peran masing-masing individu sadar terhadap eksistensinya di hadapan Allah.[5]
            Dalam nilai Islam terdapat dua cara untuk mendistribusikan pendapatan yaitu zakat (sifatnya wajib) dan infak (sifatnya sukarela). Dalam kebanyakan kasus, sektor sukarela tidak dapat secara mutlak dijelaskan bahwa tindakan sukarela ini memenuhi persyaratan transitivitas. Jika pekerjaan dengan gaji Rp 10 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 5 juta; dan pekerjaan dengan gaji Rp 5 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 2 juta. Apakah masuk akal jika pekerjaan dengan gaji Rp 2 juta lebih disukai daripada pekerjaan dengan gaji Rp 10 juta? Menurut aksioma transitivitas hal ini dianggap tidak masuk akal (irrasional) karena tidak konsisten. Namun bila dikaitkan dengan sektor sukarela hal-hal yang sepertinya irrasional seperti ini dapat dijelaskan sebagai suatu hal yang rasional.

Efisiensi dan Keadilan
Efisiensi alokasi menjelaskan bahwa bila semua sumber daya yang ada habis teralokasi, maka alokasi yang efisien tercapai. Namun konsep tersebut tidak mengatakan apapun, apakah alokasi tersebut harus adil?. Para ekonom konvensional memiliki pandangan yang berbeda-beda tentang suatu distribusi yang adil.
1.      Konsep Egalitarian
Menurut konsep ini, keadilan tercapai bila setiap orang yang terdapat dalam suatu kelompok masyarakat menerima kepuasan yang sama dalam hal ini adalah jumlah barang yang sama.
2.      Konsep Rawlsian
Konsep ini mengatakan bahwa distribusi dikatakan adil bila mampu memaksimalkan kepuasan kelompok masyarakat yang paling miskin (the least well off person).
3.      Konsep Utilitarian
Konsep ini menyatakan bahwa keadilan distribusi tercapai apabila total kepuasan (utilitas) setiap orang dalam kelompok masyarakat mampu dimaksimalkan
4.      Konsep Market Oriented
Menurut konsep ini, hasil pertukaran melalui proses mekanisme pasar adalah yang paling adil
Dalam konsep ekonomi Islam, adil adalah tidak mendzalimi dan tidak didzalimi. Bisa jadi konsep sama rasa sama rata tidak adil dalam pandangan ekonomi Islam karena tidak memberikan insentif bagi orang yang bekerja keras. Namun bisa jadi pula konsep “anda layak mendapatkan apa yang anda perbuat (you get what you deserve)” pun tidak adil dalam pandangan ekonomi Islam karena orang yang sumber daya atau kepemilikannya tinggi mempunyai posisi tawar yang lebih kuat daripada yang kepemilikannya rendah sehingga yang kuat dapat mendzalimi yang lemah[6].
1.         Infak dan Maksimalisasi Kepuasan
Dalam melakukan distribusi pendapatan yang berkeadilan, dapat saja pemerintah memungut pajak dalam sistem ekonomi konvensional atau zakat dalam sistem ekonomi Islam. Namun apakah pungutan yang bersifat wajib tersebut akan mengurangi kepuasan orang yang membayarnya atau malah sebaliknya. Rasionalitas dalam kerangka definisi self interest dapat menerangkan misalnya perilaku pemberian donasi, infak/sedekah, dan tindakan menolong lainnya.
2.         Perbandingan Dengan Sistem Sosialis dan Sistem Kapitalis
Sistem ekonomi kapitalis mengakui kepemilikan harta pribadi secara penuh dan tidak ada kebebasan yang sempurna. Sebagian dapat memperoleh kebebasan yang lebih daripada yang lain. Di samping itu adanya trade off antara pemerataan dan efisiensi dalam alokasi sumber daya, guna memaksimalikan output dan kesejahteraan sosial mengimplikasikan adanya distribusi pendapatan yang tidak merata.
Sementara pada sistem ekonomi sosialis sentralisasi yang digabung dengan kebijakan redistribusi oleh perencana sosialis akan menimbulkan masalah inefisiensi, produktivitas yang rendah dan tidak adanya insentif (dorongan) untuk bekerja yang disebabkan karena mengecilnya kepuasan dan kurva kemungkinan produksi (production possibility frontier).
Jika dibandingkan dengan sistem kapitalis dan sistem sosialis, maka sistem ekonomi Islam baik dengan kepemilikan yang sama maupun kepemilikan yang berbeda dapat mencapai persamaan dan efisiensi secara bersamaan. Hal ini bisa dilihat pada isowelfare (kesejahteraan, keselamatan) dan tingkat produksi dalam ekonomi Islam yang lebih tinggi dibanding dengan sistem ekonomi lainnya.
Pencapaian yang disebabkan oleh:
Ø  Dalam sistem kapitalis, adanya gap kepemilikan awal, dalam memanfaatkan sumber daya yang ada.
Ø  Dalam sistem sosialis, utility possibility frontier dan production possibility frontier berada pada tingkat yang lebih rendah karena masalah inefisiensi, rendahnya produktivitas dan berkurangnya insentif
Ø  Dalam sistem Islam, nilai turunnya kepuasan lebih kecil dibandingkan naiknya kepuasan

 Bersumber dari said bin al-Musayyab dari Ma’mar bin Abdullah al-Adawi bahwa Rasulullah s.a.w. bersabda, “Tidaklah orang yang melakukan Ikhtikar itu kecuali ia berdosa. Ikhtikar  ini seringkali diterjemahkan sebagai monopoli dan atau penimbunan. Padahal sebenarnya ikhtikar tidak identik dengan monopoli dan atau penimbunan. Dalam Islam, siapapun boleh berbisnis tanpa peduli apakah dia satu-satunya penjual (monopoli) atau ada penjual lain. Menyimpan stok barang untuk keperluan persediaan pun tidak dilarang dalam Islam. Jadi monopoli sah-sah saja. Demikian pula menyimpan persediaan. Yang dilarang adalah ikhtikar, yaitu mengambil keuntungan di atas keuntungan normal dengan cara menjual lebih sedikit barang untuk harga yang lebih tinggi, atau istilah ekonominya disebut monopoly’s rent.
Jadi dalam Islam, monopoli boleh, sedangkan monopoly’s rent tidak boleh. Karena ketika seorang produsen menimbun barang bukan untuk persediaan melainkan hanya untuk permainan agar harga semakin meningkat -sesuai dengan hukum permintaan dan penawaran ketika permintaan meningkat dan penawaran sedikit maka harga akan meningkat-. Kemudian produsen akan menjual setelah harga tinggi agar ia memperoleh keuntungan yang berlipat, hal ini tidak diperbolehkan sebab akan menimbulkan kesengsaraan bagi pihak lain terutama bagi konsumen dari kalangan yang kurang mampu. Namun apabila produsen menimbun barang untuk persediaan, misalkan dikarenakan cuaca atau iklim yang tidak menentu yang dapat menyebabkan tersendatnya distribusi barang, sehingga ketika barang tersedia, maka produsen langsung menimbun barang agar persediaan cukup untuk jangka waktu yang lebih lama. Hal ini diperbolehkan dalam Islam, sebab menimbun barang yang dilakukan bukan bertujuan mencari keuntungan berlipat melainkan untuk persediaan barang.
            Singkatnya, suatu kegiatan masuk ke dalam kategori ikhtikar, apabila salah satu dari tiga hal tersebut terpenuhi :
1.   Mengupayakan adanya kelangkan barang baik dengan cara menimbun barang atau mengenakan hambatan masuk (entry-barriers), agar barang tersebut langka di pasaran.
2.   Menjual dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga sebelum munculnya kelangkaan.
3.   Mengambil keuntungan yang lebih tinggi dibandingkan keuntungan sebelum   tidakan (1) dan (2) dilakukan .



[1]  Tidak dapat melakukan bukan berarti individu tersebut tidak mampu, tapi lebih karena alasan kesempatan yang tidak ada atau ketidakberdayaan akibat keadaan lingkungan diluar dirinya, artinya diluar kemampuan tenaga dan fikirannya.
[2] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional.
[3] Hari Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar.
[4] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional.
[5] Hari Sudarsono, Konsep Ekonomi Islam Suatu Pengantar.
[6] M Nur Rianto Al Arif, SE, Msi, Teori Mikroekonomi: Suatu Perbandingan Ekonomi   Islam Dan Ekonomi Konvensional.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar